Relawan, voluntir, volunteer, menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah sama dengan sukarelawan, yaitu orang yang melakukan sesuatu dengan sukarela (tidak karena diwajibkan atau dipaksakan). Definisi ini mengarah pada keterlibatan seseorang atau beberapa orang yang muncul dari inisiatif independen, muncul dari dalam hatinya sendiri dari kesadarannya sendiri yang ingin melakukan sesuatu tanpa keuntungan dan afiliasi dengan bisnis, tanpa dikte pemerintah, diluar ranah motif politik. Itulah yang lazim disebut daya societal yang seringkali muncul disaat keadaan darurat.
Kenapa disebut darurat? Karena seringkali perbuatan atau pergerakan yang memenuhi motif relawan sebagaimana definisi di atas adalah suatu kondisi yang sebegitu menggugahnya sehingga dapat dikategorikan sebagai darurat oleh banyak orang dalam masyarakat. Dengan adanya peristiwa tersebut, banyak individu-individu yang tergerak untuk membantu, untuk bergerak, atau minimal ikut berkomentar mendukung adanya perubahan terhadap peristiwa darurat tersebut. Karena alasan itu pula lah muncul situs change.org yang seringkali mengumpulkan pendapat mendukung suatu petisi atas terjadinya suatu peristiwa yang umumnya dianggap mencederai etika atau moral publik. Kita dapat ambil contoh misalnya kasus Prita Mulyasari dengan RS Omni International yang pernah menjadi trending topic di Indonesia sehingga memunculkan gerakan koin untuk Prita, kemudian dalam dunia perpolitikan misalnya Relawan Ahok yang membuat gerakan mendukung agar Ahok tetap dapat maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017 melalui jalur independen, ada juga relawan kemanusiaan Mer-C yang kegiatannya banyak dilakukan di Timur Tengah.
Kemudian muncul pertanyaan, apakah benar para relawan itu benar-benar memenuhi definisi KBBI? Dalam arti mereka melakukannya bukan karena motif keuntungan atau dilihat manusia lain, mereka melakukannya karena kesadaran mereka sendiri? Tentu kamu pernah mendengar istilah “no such free lunch” kan? Yang arti harfiahnya yaitu “tidak ada makan siang yang gratis”. Kalau kamu ditraktir oleh teman kamu, belum tentu ia ingin nraktir kamu, mungkin ia bermaksud mengenalkan bisnis MLM, mau coba deketin adik perempuanmu, atau ingin kamu jadi tim suksesnya? Hehehe. Tapi yang jelas, sejarah mencatat ketika kelompok-kelompok relawan muncul pada momen sejarah tertentu suatu masyarakat, biasanya motif mereka dicurigai apakah murni atau ada kepentingan lain dibalik itu. Misalnya motif “altruisme” dan “kepentingan diri”, yang contoh konkritnya yaitu ingin dianggap pahlawan, pencarian pengalaman untuk diisikan dalam curriculum vitae, ingin dapat makan siang gratis dan uang rokok (kalau yang ini massa bayaran), atau bahkan pamer massa bahwa seseorang itu memiliki dukungan dari massa yang signifikan sehingga tidak boleh diperlakukan sewenang-wenang.
Namun, tidak perlu terlalu mencurigai relawan, tidak perlu juga terlalu mendukung relawan. Karena relawan rentan tergiring oleh suatu opini heroisme terhadap suatu peristiwa atau tokoh tertentu. Jangan sampai juga kerelawanan itu menjadi suatu sekat-sekat bangsa dan masyarakat. Jangan sampai relawan “grup ini” dijadikan lawan “grup itu” sementara tanpa mengerti substansi perlawanan itu sendiri. Relawan kemanusiaan lebih menjadi contoh apik bahwa niat tulus menolong orang itu adalah panggilan jiwa dan hati, sehingga sama sekali tidak ada motif keuntungan atau politis di dalamnya. Tetapi bukan berarti juga relawan lain mempunyai motof yang mencurigakan. Yang terpenting adalah tersimpannya jiwa relawan atau jiwa heroisme dalam menanggapi situasi yang dianggap darurat atau mencederai etika publik dengan santun, logis, dan jernih sehingga tidak mudah terbawa penggiringan opini oleh media massa yang juga seringkali tidak netral.
Leave a Reply