Seorang lulusan baru atau seseorang yang lama mencari pekerjaan kadang siap atau mau saja menerima apapun jenis pekerjaannya. Namun, tidak sedikit yang dalam perjalanannya merasa tidak cocok dengan pekerjaan yang dipilihnya tersebut. Ada yang perlahan mencoba melamar di tempat lain sambil terus bekerja sebaik mungkin, ada yang secara frontal meminta mundur (resign) meski sebenarnya dia belum punya pekerjaan selanjutnya, ada yang memilih diam namun bermalas-malasan dalam mengeluarkan energi dan pemikirannya atau dengan kata lain bekerja seadanya (hopeless).
Hal itu adalah fenomena umum yang muncul pada banyak tempat kerja baik itu sektor swasta maupun publik, dan mungkin Anda sendiri pernah mengalami hal ini. Meskipun terdapat banyak ahli yang membedakan motivasi karyawan pada sektor swasta dengan motivasi pegawai negeri sipil. Misalnya Wittmer (1991) yang membedakan pegawai swasta yang lebih mengutamakan keuntungan pekerjaan, baik uang, tunjangan, bonus bulanan, sampai posisi yang prestisius, bekerja sesuai dengan bayaran; sementara pegawai negeri sipil lebih ke arah pelayanan masyarakat, pengabdian kepada negara, rela berkorban, dan motivasi sosial lainnya. Namun, terdapat kesamaan antara pekerja swasta dengan pegawai negeri sipil terkait dengan ikatan kerja (working engagement).
Pada pemimpin (baca: bos) hampir selalu tidak menyadari sedari awal saat orang-orang terbaik meminta dipindahkan, mundur (resign), atau bahkan tetiba meninggalkan kantor. Atau bahkan si bos tidak sadar apa yang telah dilakukannya sehingga si pegawai tadi meminta mundur. Lazimnya pimpinan enggan melepaskan pegawai tersebut, apabila ia dianggap salah satu dari orang-orang terbaik atau bahkan pegawai terbaik di kantor tersebut. Apabila ia pindah tentu si bos akan kehilangan setengah atau bahkan dua pertiga tenaganya. Dengan adanya si pegawai tersebut, pekerjaan terasa lebih mudah bagi si bos.
Lalu apakah yang sebenarnya dikategorikan sebagai orang terbaik oleh si bos? Ya itu tadi, yang diberikan suatu tugas tanpa diarahkan bisa selesai dengan baik? Atau selalu menurut? Tergantung kepada definisi si bos tentang pegawai yang disukainya. Kemudian mungkin si bos juga tidak tahu apa alasan sebenarnya orang-orang terbaik itu meminta atau memilih untuk pergi, “kenapa kamu pergi? Uangnya lebih banyak disana? Disini tidak diperankan?”. Mungkin pertanyaan-pertanyaan tersebut jawabannya sangat gamblang walaupun tidak selalu diungkapkan dengan jujur dan terbuka: orang-orang terbaik pergi yaa (sering kali) karena si bos itu sendiri. Bukan tentang kantornya, bukan soal uangnya lebih banyak disana, dan bukan hanya karena ditawari pekerjaan baru yang lebih kinclong atau lebih prestisius. Itu sekedar alasan yang dimunculkan saat meminta izin pindah ke kantor lain atau meminta mundur (resign). Frankly, orang-orang terbaik keluar karena “tidak” merasa (pilih salah satu atau lebih: dihargai, dihormati, dipercayai, dipedulikan, dipimpin, atau ditumbuhkembangkan) oleh pemimpin mereka. Misalnya bila ada 2 (dua) pegawai dengan kualifikasi sama, kemampuan sama, keduanya pernah kuliah di luar negeri, namun yang selalu diperankan sebagai ketua (leader) hanya salah satunya saja terus menerus dan selalu, maka amat wajar jika pegawai yang satunya minta pindah kantor atau mundur (resign) karena merasa dianaktirikan tanpa sebab yang jelas.
Itu sih juga masih opini saya pribadi walaupun saya duga lagi-lagi terjadi di banyak tempat. Sebagian besar kantor, organisasi, perusahaan, dan perkumpulan dibentuk untuk melayani para pemimpinnya, bukan mayoritas karyawannya. Buktinya coba ingat-ingat berapa kali pegawai diminta sarannya dalam suatu rapat terbuka yang diikuti oleh seluruh pegawai?
Mana yang lebih banyak menyita perhatian, antisipasi keinginan, kebiasaan dan kemauan? Si bos atau pembahasan soal hal-hal yang kira-kira disukai pegawai? Hal-hal yang dirasa pegawai tidak enak? Terakhir mana yang lebih sering mendominasi dalam meeting-meeting, perintah dan pernyataan bos atau obrolan dan interaksi pegawai dengan si bos?
Kalau boleh mengutip John C Maxwell, beliau bilang people quit people, not companies. Tidak ada yang lebih buruk daripada organisasi yang harus terus menerus mencari orang-orang baru untuk menggantikan orang-orang terbaik yang memilih untuk pergi. Selain boros dari segi duit dan waktu, kondisi ini mempertegas kepedulian pimpinan organisasi semata pada urusan angka, bukan para pelakunya (baca: manusia). Nah, ini adalah indikasi jelas pemimpin buruk yang sedang mengelola organisasi buruk.
Kepergian orang-orang terbaik juga berarti organisasi akan semakin dijejali oleh mereka yang hanya bisa patuh, taat, dan puas dengan apap pun ala kadarnya. Termasuk dalam kategori ini sebenarnya adalah para bos itu sendiri. Sementara, orang-orang terbaik yang pergi tadi justru akan bekerja, berkiprah, dan berkontribusi pada organisasi-organisasi lain. Kalau memang dirasa tidak diberdayakan atau tidak dibutuhkan, maka baiknya diizinkan pindah oleh pimpinan. Pertama di kantor itu ia tidak pernah dihiraukan tanpa sebab yang jelas, kedua apabila ia berprestasi di tempat barunya tentu nama si bos ini bisa harum juga karena berhasil menelurkan pegawai hebat. I just simply says “the loss of your organization = the gain for other organizations”.
Tulisan ini sama sekali bukan untuk ajang nyinyir bagi para bos, walau mungkin ada benarnya, bukan juga curahan hati saya, ini hanya ditujukan bagi para pemimpin yang masih membutuhkan orang-orang terbaik untuk tetap bekerja di kantornya. Bagaimana caranya? Pahami kalau organisasi dibangun untuk seluruh anggotanya, bukan anggota senior atau anggota khusus atau anggota tertentu. Organizations are built for the masses, not just for the people on top.
Bagaimana dengan para bos? Jelas mereka memang prang-orang istimewa, bukan karena status atau posisi dalam organisasi, bukan karena koneksi mereka yang hebat dan luas, namun pilihan untuk mengambil peran dan tanggung jawab atas kehidupan setiap orang yang tergabung dalam organisasi. Kebahagian pegawai yang ada dibawahnya. Keadilan yang diterapkan di pekerjaan kantor. Bahkan, bisa jadi lebih luas dari itu.
Para bos sebaiknya segera meninggalkan status bos dan mengambil peran sebagai pemimpin. Pemimpin itu sudah istimewa tanpa harus meminta untuk diistimewakan. Sang pemimpin semakin istimewa saat tidak melihat dirinya istimewa dan justru mengistimewakan semua orang selain dirinya. Betapa indahnya jika desain organisasi, inisiatif, dan kegiatan senantiasa memegang pedoman ini. As a conclusion, leadership is about taking responsibility for lives, not numbers. Managers look after our numbers and results. While leaders look after us (Simon Sinek).
Meninggalkan pekerjaan alasannya karena upah kecil. Dan di luar sana ada yang lebih baik.
LikeLike