Skenario Pengenaan Daftar Hitam Pada Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah

Berikut saya sajikan beberapa skenario terjadinya penetapan daftar hitam baik oleh kementerian/lembaga terkait maupun kementerian/lembaga lainnya disaat penyedia jasa ikut lelang kementerian/lembaga terkait dan memenangkan paket tersebut. Skenario ini adalah contoh garis besar yang dapat dilakukan oleh Pengguna Jasa cq PPK dalam menghadapi kejadian berikut: penyedia jasa tidak mengakui dan/atau mengetahui adanya daftar hitam yang dikenakan kepada mereka dari kementerian/lembaga lain segera setelah Surat Keputusan Penetapan Daftar Hitam dari kementerian/lemabaga itu terbit. Saya sajikan 3 (tiga) buah contoh skenario terjadinya penetapan daftar hitam. Yang dimaksud penetapan daftar hitam dalam tulisan ini adalah proses final Surat Keputusan Daftar Hitam yang dikeluarkan oleh kementerian/lembaga terhadap suatu penyedia jasa. Surat Keputusan itu adalah final dan mulai berlaku semenjak putusan tersebut terbit meskipun belum diumumkan di Laman LKPP.

  1. Pengenaan Daftar Hitam sebelum diterbitkannya Surat Penunjukkan Penyedia Barang dan Jasa (SPPBJ)

Kita ambil skenario Penyedia Jasa X mengikuti lelang Paket Pengadaan Rambut Gimbal di Kementerian A dan menjadi pemenang paket tersebut. Beberapa hari setelah penandatanganan kontrak diketahui bahwa Penyedia Jasa X telah dikenai daftar hitam dari Kementerian B. Penyedia Jasa X berdalih baru mengetahui adanya penetapan Daftar Hitam setelah penandatanganan kontrak.

Ulasan:

Penyedia Jasa X dapat dikenai tuduhan telah menipu/memalsukan informasi dengan tidak menyampaikan kepada Pokja bahwa perusahaannya terkena sanksi penetapan daftar hitam/blacklist. Hal itu dilatarbelakangi aturan teknis yang mengatur mengenai pemberitahuan penetapan sanksi daftar hitam, yang diatur pada pasal 12 ayat (1) Peraturan Kepala LKPP Nomor 18 tahun 2014 disebutkan bahwa:

(1)  PA/KPA menerbitkan Surat Keputusan Penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam atas usulan penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam berdasarkan rekomendasi APIP paling lambat 5 (lima) hari sejak rekomendasi diterima, dan pada hari yang sama Surat Keputusan Penetapan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam disampaikan kepada Penyedia Barang/Jasa dan PPK/Kelompok Kerja ULP/Pejabat Pengadaan.

Kemudian dalam Lampiran II Peraturan Kepala LKPP Nomor 18 tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah yang menerangkan bahwa Surat Keputusan Penetapan Sanksi Pencantuman Daftar Hitam/Blacklist ditujukan kepada Penyedia Jasa yang dikenai daftar hitam, yang dalam hal ini adalah PT DHMP. Surat Keputusan Penetapan Sanksi Pencantuman Daftar Hitam/Blacklist tersebut ditujukan kepada penyedia jasa yang dikenai sanksi daftar hitam dan ditembuskan kepada Menteri, Kepala LKPP, APIP yang bersangkutan, dan PPK yang mengusulkan sanksi daftar hitam.

Memperhatikan ketentuan teknis tersebut, sudah seharusnyalah salinan surat keputusan penetapan daftar hitam/blacklist oleh Kementerian Kesehatan sampai ke alamat tujuan dan diterima oleh PT DHMP pada hari yang sama atau beberapa hari setelahnya karena memang ditujukan ke PT DHMP kecuali alamat tersebut palsu.

Dalam proses pelelangan barang/jasa pemerintah, alamat perusahaan dan atau alamat surat elektronik yang dimiliki didaftarkan oleh penyedia barang/jasa pada saat proses lelang (isian kualifikasi dan unggahan dokumen pengadaan).

Peraturan Presiden No 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Peraturan Presiden No 54 tahun 2010. Pasal 19 ayat (1) huruf o menyebutkan: Penyedia barang/jasa dalam melaksanakan Pengadaan barang/jasa wajib memenuhi persyaratan: memiliki alamat tetap dan jelas serta dapat dijangkau dengan jasa pengiriman.

Berdasarkan hal-hal tersebut Penyedia Jasa X dapat diduga keras atau seharusnya sudah menerima dan mengetahui kiriman salinan Surat Keputusan Penetapan Sanksi Pencantuman Daftar Hitam/Blacklist dari Kementerian Kesehatan baik melalui pos maupun surat elektronik disaat proses lelang Paket Pengadaan Rambut Gimbal masih berlangsung. Oleh karena itu, Penyedia Jasa X memiliki kesempatan misalnya 10 (sepuluh) hari kerja sebelum pembuktian kualifikasi untuk memberi tahu Pokja Kementerian A bahwa Penyedia Jasa x terkena penetapan sanksi daftar hitam/blacklist oleh Kementerian B. Jumlah hari tersebut belum termasuk 5 (lima) hari kerja lainnya sejak pembuktian kualifikasi dan penetapan pemenang, yang dapat digunakan Penyedia Jasa X untuk memberi tahu Pokja Kementerian A perihal sanksi daftar hitam/blacklist yang ditetapkan padanya sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.1. berikut:

 Untitled 3.jpg
Gambar 1.1 – Ilustrasi waktu pelaksanaan lelang dan SK penetapan daftar hitam Penyedia Jasa X oleh Kementerian B

Sesuai pasal 3 Peraturan Kepala LKPP Nomor 18 tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah disebutkan:

(1)  Pengenaan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa saat proses pemilihan dan/atau pelaksanaan kontrak.

(2)  Penyedia Barang/Jasa dikenakan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam apabila:

  1. ditemukan penipuan/pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa;

Karena sebelum terbitnya SPPBJ, penyedia jasa wajib menyampaikan seluruh informasi yang diketahuinya yang dapat mempengaruhi hasil pelelangan kepada Pokja. Hal mana dikuatkan dalam Peraturan Presiden No 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Peraturan Presiden No 54 tahun 2010. Pasal 118 ayat (6) yang menyebutkan: Perbuatan atau tindakan Penyedia Barang/Jasa yang dikenakan sanksi adalah:

(6) Apabila ditemukan penipuan/ pemalsuan atas informasi yang disampaikan Penyedia Barang/Jasa, dikenakan sanksi pembatalan sebagai calon pemenang, dimasukkan dalam Daftar Hitam, dan jaminan Pengadaan Barang/Jasa dicairkan dan disetorkan ke kas negara.

Dapat disimpulkan bahwa Penyedia Jasa X tidak beritikad baik dengan tidak menyampaikan data dan informasi yang sebenar-benarnya kepada Pokja Kementerian A terkait status dirinya yang sudah dikenai sanksi daftar hitam oleh Kementerian B dan dapat dikenai sanksi pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pengguna Jasa Kementerian A cq PPK dengan segala konsekuensinya.

  1. Pengenaan Daftar Hitam setelah diterbitkannya Surat Penunjukkan Penyedia Barang dan Jasa (SPPBJ) namun sebelum penandatanganan kontrak

Kita ambil skenario Penyedia Jasa Y mengikuti lelang Paket Pengadaan Rumput Gundul di Kementerian C dan menjadi pemenang paket tersebut. Penyedia Jasa Y terkena sanksi daftar hitam dari Kementerian D setelah diterbitkannya SPPBJ, namun Penyedia Jasa Y tidak memberitahu PPK akan hal itu. Beberapa hari setelah penandatanganan kontrak PPK akhirnya mengetahui bahwa Penyedia Jasa Y telah dikenai daftar hitam dari Kementerian D. Penyedia Jasa Y berdalih baru mengetahui adanya penetapan Daftar Hitam setelah penandatanganan kontrak.

Ulasan:

Terjadinya atau terbitnya Surat Keputusan Penetapan Daftar Hitam secara fakta diketahui terbit setelah diterbitkannya SPPBJ, sementara SPPBJ adalah bentuk dari “persetujuan PPK” terhadap proses lelang yang telah dilaksanakan oleh Pokja.

Peraturan Presiden No 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Peraturan Presiden No 54 tahun 2010, pasal 60 ayat (1) huruf j menyebutkan: dalam hal PPK menyetujui penetapan pemenang lelang, Surat Penunjukan Penyedia Barang/Jasa (SPPBJ) diterbitkan paling lambat 6 (enam) hari kerja setelah pengumuman penetapan pemenang Pelelangan apabila tidak ada sanggahan, atau setelah sanggahan dijawab dalam hal tidak ada sanggahan banding, atau paling lambat 2 (dua) hari kerja setelah Kelompok Kerja ULP menyampaikan Berita Acara Hasil Seleksi (BAHS) kepada PPK untuk Seleksi Umum.

Dalam contoh kasus ini, SPPBJ adalah bentuk persetujuan PPK terhadap proses lelang yang dilakukan Pokja Kementerian C sekaligus sebagai jaminan kepada Penyedia Jasa Y bahwa persetujuan telah tercapai meskipun belum dituangkan dalam Penandatanganan Kontrak. Dengan adanya SPPBJ, maka Penyedia Jasa Y menjadi yakin akan kepastian penandatanganan kontrak dan dapat menyiapkan jaminan pelaksanaan ke Bank atau Perusahaan Asuransi atau Konsorsium sebagai salah satu syarat penandatanganan kontrak.

Namun, dalam perjalanannya ternyata Penyedia Jasa Y dikenai sanksi daftar hitam dari Kementerian D setelah diterbitkannya SPPBJ sebagaimana terlihat dalam Gambar 1.2. berikut:

 Untitled.jpg
Gambar 1.2 – Ilustrasi waktu pelaksanaan lelang dan SK penetapan daftar hitam Penyedia Jasa Y oleh Kementerian D

Terhadap hal ini saya berpendapat bahwa dengan telah diterbitkannya SPPBJ maka tidak ada kewajiban bagi Penyedia Jasa Y untuk menyampaikan informasi mengenai dikenakannya daftar hitam kepadanya. Karena seluruh proses lelang telah selesai begitu terbitnya SPPBJ dan kewajiban sudah mulai beralih dari Pokja ke PPK.

Namun, menandatangani kontrak disaat Penyedia Jasa Y telah dikenai sanksi daftar hitam adalah dilarang oleh peraturan perundang-undangan. Peraturan Presiden No 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Peraturan Presiden No 54 tahun 2010, pasal 19 ayat (1) huruf n menyebutkan:

(1)  Penyedia Barang/Jasa dalam pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa wajib memenuhi persyaratan sebagai berikut:

      (n) tidak masuk dalam Daftar Hitam;

Oleh karena itu, terhadap kontrak dapat dilakukan pembatalan kontrak dan pengembalian para pihak kepada kondisi semula sebelum ditandatanganinya kontrak. Merujuk pada pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata):

Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi  empat syarat;

  1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
  2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
  3. suatu pokok persoalan tertentu;
  4. suatu sebab yang tidak terlarang.

Pelanggaran atau tidak terpenuhinya nomor 1 dan 2 berakibat pada dapat dibatalkannya suatu perjanjian atau perikatan disebut juga syarat subjektif. Sementara pelanggaran atau tidak terpenuhinya nomor 3 dan 4 berakibat pada perjanjian atau perikatan batal demi hukum. Pasal 1328 KUHPer menyatakan: Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan. Kemudian pada pasal 1335 KUHPer disebutkan: Suatu persetujuan tanpa sebab, atau dibuat berdasar kan suatu sebab yang palsu atau yang terlarang, tidaklah mempunyai kekuatan.

Dalam contoh kasus ini, menandatangani kontrak disaat Penyedia Jasa Y sudah terkena daftar hitam adalah terlarang. Oleh karena itu seketika perjanjian kontrak yang sudah ditandatangani batal demi hukum. Akibat dari batal demi hukum yaitu para pihak dikembalikan ke keadaan semula, sebagaimana diatur dalam pasal 1452 KUHPer: Pernyataan batal yang berdasarkan adanya paksaan, penyesatan atau penipuan, juga mengakibatkan barang dan orang yang bersangkutan pulih dalam keadaan seperti sebelum perikatan dibuat. Dalam kasus ini maka seluruh jaminan yang ada pada PPK dikembalikan ke Penyedia Jasa Y, uang muka yang apabila telah ditarik wajib dikembalikan seluruhnya, dan prestasi pekerjaan apabila telah ada yang dikerjakan tidak dapat dibayarkan.

  1. Pengenaan Daftar Hitam setelah dilakukannya penandatanganan kontrak

Kita ambil skenario Penyedia Jasa Z mengikuti lelang Paket Pembangunan Bunker Bawah Sungai di Kementerian E dan menjadi pemenang paket tersebut. Setelah dilakukan penandatanganan kontrak, Penyedia Jasa Z dikenai daftar hitam dari Kementerian F atas kesalahannya di Tahun Anggaran yang lalu. Penyedia Jasa Z dapat membuktikan bahwa tanggal terbitnya Surat Keputusan penetapan Daftar Hitam oleh Kementerian F ada setelah tanggal penandatanganan kontrak dengan PPK Kementerian E.

Ulasan:

Terjadinya atau terbitnya Surat Keputusan Penetapan Daftar Hitam secara fakta diketahui terbit setelah dilakukannya penandatanganan kontrak. Penyedia Jasa Z dapat membuktikan hal tersebut dan setelah dilakukan konfirmasi kepada Kementerian F bahwa tanggal Surat Keputusan Penetapan Daftar Hitam adalah benar, maka Penyedia Jasa Z dapat meneruskan pekerjaannya pada tahun anggaran tersebut sampai selesai.

Peraturan Presiden No 4 tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Peraturan Presiden No 54 tahun 2010, dalam penjelasan pasal 124 ayat (1) menyebutkan:

Pengenaan sanksi daftar hitam tidak berlaku surut (non-retroaktif). Penyedia yang terkena sanksi daftar hitam dapat menyelesaikan pekerjaan lain, jika kontrak pekerjaan tersebut ditandatangani sebelum pengenaan sanksi.

Hal itu dapat terlihat dalam ilustrasi Gambar 1.3 berikut:

 Untitled 2.jpg
Gambar 1.3 – Ilustrasi waktu penandatanganan kontrak dan SK penetapan daftar hitam Penyedia Jasa Z oleh Kementerian F

Dalam contoh kasus ini, apabila Penyedia Jasa Z dapat membuktikan bahwa sanksi daftar hitam yang dikenai kepadanya terbit setelah penandatanganan kontrak, maka Penyedia Jasa Z boleh melanjutkan pekerjaannya di tahun anggaran itu. Namun, mulai tahun anggaran berikutnya Penyedia Jasa Z tidak boleh mengikuti pengadaan barang/jasa pemerintah selama 2 tahun anggaran di kementerian/lembaga manapun di Indonesia.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑

https://zonadamai.com/

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

Notes from an Indonesian Policy Wonk

Notes and Analysis on Indonesian Current Affairs and Policies

Khalid Mustafa's Weblog

Sebuah Catatan Kecil

Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., Ph.D.

Constitutional Law, Comparative Constitutional Law, Constitutional Court and Human Rights

JURNAL HUKUM

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

The Chronicles of a Capitalist Lawyer

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

Ibrahim Hasan

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

%d bloggers like this: