Menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentag Kehutanan, hutan merupakan kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungannya. Dimana satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan. Seiring perkembangan zaman, penyebaran industri, perluasan tanaman produksi, dan pemerataan pembangunan seringkali luasan kawasan hutan menjadi berkurang karena alih fungsi atau karena pembukaan lahan untuk permukiman maupun pembangunan nasional. Hal-hal tersebut cepat atau lambat mengurangi luasan kawasan hutan. Kemudian apakah pembangunan nasional sebaiknya tidak mengganggu kawasan hutan sama sekali?
Menurut UN Environment Programme (lembaga PBB tentang lingkungan), hutan meliputi speertiga daratan dan menyokong kehidupan sekitar 1,6 milyar manusia, sumber air bagi sungai yang menjadi sumber air minum, rumah bagi 80% keanekaragaman hayati, mengatur pola hujan, dan sebagainya. Dengan berbagai fungsi tersebut, sebagian berpendapat pembangunan nasional berupa infrastruktur tidak menyentuh atau mengurangi kawasan hutan. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada 2018 menyebutkan luas kawasan hutan Indonesia saat ini tercatat sekitar 125,9 juta hektare (ha) atau seluas 63,7 persen dari luas daratan Indonesia. Namun, jumlah tersebut terus makin menurun.
Pembangunan infrastruktur seringkali juga melintasi suatu kawasan hutan, misalkan waduk dan jalan tol yang seringkali dianggap berperan mengurangi luasan hutan, meskipun sebenarnya ada skema pinjam pakai yang disertai penggantian lahan hutan minimal dengan skala 1 banding 1.
Ironisnya, justru berkurangnya luasan hutan itu lebih disebabkan pembukaan lahan hutan untuk tanaman kelapa sawit yang baru-baru ini terkena kebakaran lahan karena sistem pembukaan lahan dengan dibakar jauh lebih murah dan cepat, Jadi, dibandingkan dengan pembangunan infrastruktur yang memiliki potensi pemerataan ekonomi dan perkembangan daerah, pengurangan lahan kawasan hutan karena pembukaan lahan untuk komersil jauh lebih besar berpengaruh.
Namun sayang sekali proses pembebasan lahan atau proses izin pinjam pakai lahan hutan seringkali meliputi proses administratif yang panjang sekali. Mulai dari izin ke Kementerian Kehutanan, kemudian juga izin ke Perhutani apabila hutan yang akan digunakan dalam pembangunan infrastruktur adalah hutan produksi, menurunkan tim pengukuran hutan dan batas-batasnya yang hanya ada di pulau Jawa misalnya, dan sebagainya.
UU 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum bersanding secara setara dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentag Kehutanan, sehingga tidak dapat digunakan unsur percepatan sebagaimana tertera pada UU 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum beserta turunannya karena Kehutanan memiliki wewenang dan pengaturannya sendiri. Alangkah baiknya jika Pemangku Kepentingan di bidang Kehutanan sama-sama bersemangat dan suportif terhadap alih fungsi hutan dengan skema pinjam pakai untuk kepentingan umum dibanding dengan alih fungsi hutan oleh swasta.
Leave a Reply