Arah Percepatan Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum di Era Jokowi Jilid II

Selain RUU KUHP, ternyata terdapat berbagai pasal kontroversial pada RUU Pertanahan, selain juga RUU RUU lainnya yang sangat ingin segera disahkan oleh para anggota legislatif periode 2014-2019. Berdasarkan “bocoran” yang ada di berbagai media, tampak ada beberapa pasal yang memiliki tendensi mengembalikan rezim Pertanahan ke era Orde Baru. Di satu sisi pemerintah butuh sekali kemudahan dan kecepatan dalam pembebasan lahan warga masyarakat demi nama investasi, di sisi lain pemerintah juga harus menjaga hak asasi manusia yang terkandung dalam kepemilikan tanah dan air. Lalu apakah pak Jokowi akan segera mengesahkan RUU Pertanahan guna menciptakan arah baru dalam Pengadaan Tanah Bagi Kepentingan Umum?

Kita ambil saja salah satu pasal kontroversial yang tersiar dan beredar yaitu pasal 91 yang berbunyi “setiap orang yang menghalangi petugas dan/atau aparatur penegak hukum yang melaksanakan tugas pada bidang tanah miliknya atau orang suruhannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun denda paling banyak Rp500 juta” yang konon adalah draf/rancangan per 9 September 2019.

Dengan adanya pengaturan pasal tersebut, maka perluasan spektrum pengadaan tanah bagi kepentingan umum menjadi lebih luas. Contoh konkretnya yaitu saat diberlakukannya UU 2 Tahun 2012, maka pengadaan tanah diberikan suatu ruang dalam pelaksanaan pemberian ganti kerugian ke Pengadilan Negeri dalam hal warga salah satunya tidak menerima nilai ganti kerugian yang ditawarkan oleh pemerintah. Sebelum adanya UU 2 Tahun 2012, tidak ada mekanisme seperti itu sehingga pengadaan tanah menjadi sangat lama karena pengadaan tanah tidak memiliki ujung yang pasti sebelum ditemui kata sepakat antara pemerintah dengan warga pemilik tanah.

Percepatan yang diatur dalam UU 2 Tahun 2012 tersebut adalah suatu terobosan hukum, atau norma hukum baru yang sebelumnya kurang dikenal dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang letaknya ada di ujung pelaksanaan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Kemudian apabila pasal 91 dalam rancangan RUU Pertanahan tersebut disahkan, maka terjadi perluasan norma hukum dalam mekanisme pengadaan tanah. Apabila sebelumnya salah satu terobosan krusial dalam pengadaan tanah bagi kepentingan umum ada di ujung (penitipan ke Pengadilan Negeri), maka dengan adanya pasal tersebut tercipta terobosan di tahap awal pengadaan tanah bagi kepentingan umum.

Saat dilakukan pengukuran di tahap awal, misalnya di tahap Inventarisasi dan Identifikasi dilakukan pengecekan alas hak dan pengukuran luas dan batas tanah, warga pemilik tanah atau penggarap tidak boleh menghalang-halangi tahap Inventarisasi dan Identifikasi tersebut.

Perlu diketahui bahwa percepatan di tahap awal pengadaan tanah bagi kepentingan umum juga sudah diatur sebagai percepatan proses pengadaan tanah, yang diatur dalam Peraturan Presiden 148 Tahun 2015 sebagai perubahan keempat Peraturan Presiden 71 Tahun 2012 dengan mempersingkat berbagai alur proses penetapan lokasi. Apabila pasal tersebut benar adanya dan disahkan oleh pemerintah, maka selain warga pemilik tanah kurang memiliki waktu untuk menelaah dan mempertimbangkan setuju atau tidaknya dengan adanya penetapan lokasi di awal proses pengadaan tanah bagi kepentingan umum di tanah miliknya, warga juga berpotensi tidak dapat menghalangi terjadinya pemasangan patok batas dan Inventarisasi dan Identifikasi yang dilakukan di tanah miliknya. Karena apabila menghalangi proses Inventarisasi dan Identifikasi, sesuai pasal tersebut dapat dipidana.

Di sisi pemerintah, pengaturan ini dapat mempercepat pengadaan tanah yang ditetapkan sebagai kepentingan umum. Dimana percepatan itu diharapkan dapat menarik investor untuk lebih tertarik menanamkan investasinya di daerah yang ditunjuk pemerintah. Namun, di sisi lain sangat berpotensi mengambil hak-hak warga masyarakat yang misalnya enggan melepaskan tanahnya menjadi jauh berkurang bahkan tereliminasi sama sekali karena adanya ancaman pidana. Bukankah ini sama seperti rezim pengadaan tanah di era Orde Baru? Suatu pilihan yang sulit bagi pemerintah dalam menyeimbangkan kedua hal tersebut. Meskipun semua tanah dan air diamanatkan dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, namun penguasaan tersebut juga wajib memperhatikan kepentingan yang lebih besar tanpa mengorbankan kepentingan yang minoritas. Mungkin pak Jokowi belajar dari periode I kepemimpinannya dimana banyak proyek insfratrsuktur yang penyelesaiannya mayoritas melewati batas recana yang sudah ditentukan karena kesulitan pembebasan lahan, sehingga pada periode Jilid II ini pak presiden beserta DPR ingin adanya kepastian dan atau percepatan dalam pembebasan tanah bagi kepentingan umum.

Apabila memang disahkan mungkin kejadian sebagaimana terjadi di beberapa ruas jalan tol dimana ada rumah yang tidak mau digusur sama sekali, tetap berdiri tegap di tengah jalan tol yang sudah dibangun. Atau contoh rumah ibu Lies (64) yang tetap berdiri kokoh di tengah gedung Apartemen Thamrin Exclusive Residence yang sudah lengkap dibangun tidak akan terjadi lagi karena dikategorikan pidana.

Sekarang tinggal pak Jokowi bagaimana menyikapi pengaturan ini, menyeimbangkan percepatan pengadaan tanah demi investasi yang siap datang hak asasi manusia, atau memberlakukan hukum yang lebih mengutamakan kepentingan yang lebih besar menurut pemerintah yang kemungkinan rawan penyalahgunaan kekuasaan.

Advertisement

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

Create a free website or blog at WordPress.com.

Up ↑

https://zonadamai.com/

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

Notes from an Indonesian Policy Wonk

Notes and Analysis on Indonesian Current Affairs and Policies

Khalid Mustafa's Weblog

Sebuah Catatan Kecil

Pan Mohamad Faiz, S.H., M.C.L., Ph.D.

Constitutional Law, Comparative Constitutional Law, Constitutional Court and Human Rights

JURNAL HUKUM

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

The Chronicles of a Capitalist Lawyer

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

Ibrahim Hasan

Mari berdiskusi mengenai Filsafat, Hukum, Sumber Daya Manusia, dan Gagasan

%d bloggers like this: