Dari 5 program prioritas Presiden Jokowi di periode kedua pemerintahannya (melanjutkan pembangunan pembangunan Infrastruktur, pembangunan Sumber Daya Manusia, penyederhanaan regulasi, penyederhanaan birokrasi, dan transformasi ekonomi) mungkin yang paling di apresiasi adalah pembangunan infrastukrur karena dianggap paling terlihat hasilnya dan bermanfaat, dan yang paling membutuhkan perhatian dan tindakan yang lebih dan inovatif adalah sektor Sumber Daya Manusia (SDM). Menurut John C Maxwell SDM adalah aset yang paling berharga. Sistem maksimal setiap 3 tahun selalu diperbaharui dan akan ketinggalan zaman. Bangunan minimal setiap 5 tahun akan dimakan usia dan memerlukan perbaikan khusus. Mesin pun akan menyusut dan akhirnya rusak. Berbeda denga SDM yang mampu bertumbuh, berkembang dan semakin efektif jika mampu menggali potensi yang ada di diri mereka. Namun, seringkali justru SDM dianggap sebagai beban, bukan sebagai aset. Akibatnya pengembangan SDM seringkali dianggap tidak penting di berbagai organisasi, pekerja yang paling rajin dan paling pintar akan sering diberikan tugas tertentu, hapalan dan hitungan lebih diutamakan daripada karakter SDM, SDM yang levelnya rendah sering tidak diperhatikan kesejahteraan dan pengembanganya, dan sebagainya.
Ada sebuah cerita di dalam buku Developing Leaders Around You karangan John C Maxwell mengenai kisah administratur sebuah kota kecil. Penduduk sebuah kota kecil memutuskan membangun sebuah jembatan baru untuk menghubungkan dengan kota sebelahnya. Untuk itu, mereka merekrut dua orang penjaga untuk pintu gerbang jembatan tersebut yang saling bergantian berjaga siang dan malam. Tidak berhenti sampai disitu, karena ada penjaga maka diputuskan untuk merekrut akuntan untuk mengurus gaji si penjaga. Kemudian sang akuntan tidak mau bekerja sendirian, dia minta diberikan staf akuntan keuangan. Kemudian, sang akuntan juga meminta seorang manajer untuk mengawasi dan memberikan pengawasan atas kinerja si penjaga. Maka jadilah yang awalnya dibutuhkan 2 penjaga gerbang untuk sebuah jembatan kecil, malah menjadi 5 pekerja yaitu 2 penjaga, 1 akuntan, 1 staf keuangan, dan 1 manajer.
Ternyata perencanaan anggaran untuk operasional dan pemeliharaan jembatan kecil tersebut lama-lama justru menggerogoti keuangan kota kecil tersebut. Akhirnya pada suatu titik Dewan Kota memutuskan untuk mengurangi anggaran operasional dan pemeliharaan jembatan tersebut. Kebutuhan 2 penjaga yang malah menjadi 5 pekerja menjadikan 5 SDM tersebut dianggap beban alih-alih sebagai aset kota kecil tersebut yang menjaga keamanan dan pemeliharaan jembatan. Ketika Dewa Kota meminta pendapat warga, sungguh disayangkan justru warga kota memilih untuk memberhentikan 2 penjaga jembatan, karena itu adalah pekerjaan yang paling rendah kastanya!.

Apakah kisah tersebut terlalu utopis? Atau mungkin salah satu dari kawans ada yang pernah melihat atau mengalaminya? Sebenarnya kisah tersebut adalah contoh riil betapa mudahnya manajemen organisasi tersesat dalam masalah yang ada yang justru menjauh dari inti masalah. Seringkali kita semua berangkat dari sebuah titik persoalan, kemudian beranjak ke proses penyelesaian persoalan . Tetapi seringkali dalam proses penyelesaian persoalan tersebut kita malah menempuh proses penyelesaian yang malah kemudian menjadi persoalan baru dan tidak menjawab persoalan yang sedang dihadapi. Karena proses penyelesaian yang kita tempuh malah membuat kita menjauh dari persoalan inti, malah berdebat hal-hal yang tak lagi menjawab inti persoalan. Dalam kisah tersebut, terlihat bahwa SDM yang seharusnya justru dipertahankan malah diputus kontraknya duluan karena dianggap paling tidak penting. Padahal hal paling krusial dalam hal jembatan tersebut, adalah penjaganya dan bukan akuntan beserta staf-stafnya. Dalam skala bernegara, misalnya bisa kita ambil contoh kejadian banjir di ibukota negara. Selain tayangan di televisi nasional tentang bencana dan warga terdampak, tayangan televisi nasional juga ramai membicrakan adu debat antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang saling sanggah mengenai sebab banjir, akhirnya para pakar juga saling beradu argumen mengenai sebab banjir dan sebagainya. Justru tayangan mengenai para pekerja (pasuka oranye) tidak banyak dibahas. Apakah kuantitas mereka masih sama antara masa gubernur sebelumnya dengan masa gubernur saat ini, apakah tindakan pencegahan sudah dilakukan sebelum terjadinya hujan oleh pekerja, dan sebagainya. Karena justru yang harusnya paling banyak bekerja adalah pasukan oranye yang paling mengetahui kondisi di lapangan. Bila boleh mengambil analogi rantai makanan, pada level terbawah berupa hewan/tanaman pengurai apabila mereka tiada atau ditiadakan, maka efeknya akan mengganggu top predator. Seekor elang yang hanya memakan ular/tikus pada ujungnya juga ikut mati apabila jasad atau kotoran tidak terurai akibat tidak ada pengurai yang kemudian menyebabkan tanaman tidak mendapat nutrisi dari hasil hewan/tanaman pengurai.
Leave a Reply