Dalam pasal 126 UU Cipta Kerja (UUCK) disebutkan, pertama, badan Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan, untuk:
- Kepentingan umum;
- Kepentingan sosial;
- Kepentingan pembangunan nasional;
- Pemerataan ekonomi;
- Konsolidasi lahan;
- Reforma agraria.
Kedua, ketersediaan tanah untuk reforma agraria sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf f paling sedikit 30% dari tanah negara yang diperuntukkan bagi Bank Tanah.
Apakah pasal tersebut benar-benar tujuan reforma agraria? Apa yang melatarbelakanginya?
Semangat pasal ini dilatarbelakangi oleh banyaknya tanah-tanah yang dimiliki oleh orang kaya, konglomerat, atau korporasi namun ditelantarkan alias tidak diurus. Tidak jarang pula si empunya tanah sampai lupa dia punya tanah dimana dan batasnya apa saja. Mereka memiliki sertipikat namun lupa tanah atas sertipikat itu dimana. Atau juga tanah atas nama korporasi yang dahulu dibeli dengan harga murah dan luas, sebagai cadangan aset. Namun, tanah tersebut dibiarkan karena belum tahu mau diapakan. Hanya dibeli untuk rencana masa depan. Akibatnya saat harga tanah naik setelah sekian tahun lamanya atau ada proyek pemerintah, ada kesulitan dalam pengadaan tanah. Oleh karena itulah dimunculkan gagasan Bank Tanah untuk menangani hal tersebut.
Jadi pasal ini dimaksudkan sebagai bagian dari reforma agraria karena bermaksud menertibkan tanah-tanah terlantar yang dimiliki segelintir orang atau organisasi, dengan cara mengambil/membeli/mencabut hak guna yang sudah kadaluarsa tersebut untuk kemudian dicatat sebagai aset Bank Tanah. Setelah dicatat sebagai aset Bank Tanah, maka tanah tersebut dapat didistribusikan kepada masyarakat kembali dengan harga murah atau bahkan gratis (dengan sistem sewa misalnya).
Yang menarik adalah adanya Bank Tanah ini juga berarti “menarik” wewenang pengurusan tanah negara yang selama ini ada di Kementerian Agraria/Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional juga pemerintah daerah sebagai mana salah satuya diatur dalam Perpres 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Sementara Bank Tanah ini akan diatur dalam Peraturan Pemerintah.
Terdapat kritik atas pasal 126 tersebut karena lebih terdengar sebagai pemberian kemudahan penggusuran oleh pemerintah melalui adanya Bank Tanah, sehingga diberitakan mirip atau sama dengan sistem domein verklaring di masa penjajahan Belanda. Adapun domein verklaring adalah pernyataan yang menegaskan bahwa semua tanah yang orang lain tidak dapat membuktikan bahwa tanah itu miliknya, maka tanah itu adalah milik (eigendom) negara
Padahal UUPA telah mencabut pasal 51 IS yang mengatur mengenai domein verklaring karena dipandang merugikan masyarakat. Dengan adanya domein verklaring, pemerintah kolonial dapat menggeruk keuntungan sebesar- besarnya dengan cara memindahkan hak eigendom satu pihak kepada pihak lain yang bersedia membayar lebih mahal.
Kritik lainnya yaitu pemberian tanah kepada rakyat secara murah atau bahkan gratis (sewa) dapat bersifat subjektif. Harus ada yang mengawasi atas pemberian tersebut, karena potensi penyalahgunaan wewenang dan salah sasaran cukup besar. Kemudian ada juga kritik terkait pasal 137 yang menyatakan sebagian kewenangan hak menguasai tanah oleh negara dapat dilimpahkan ke badan hukum yang ditunjuk pemerintah pusat. Hak pengelolaan tanah juga dapat dikerjasamakan dengan pihak ketiga yang berpotensi memberi keleluasaan yang terlalu besar kepada swasta dalam pengelolaan hak atas tanah negara.
Leave a Reply