Pada 19 Mei 2020 yang lalu, Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2020 tentang Pendanaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Perpres 66). Setelah diterbitkan, Perpres 66 tersebut ternyata memerlukan peraturan pelaksana yang mengatur lebih detail terkait beberapa hal teknis pelaksanaannya. Selain itu juga Perpes 66 dianggap memuluskan perampasan tanah masyarakat demi kepentingan pemerintah. Apakah benar seperti itu? Apakah Perpres 66 menjadikan tanah masyarakat sebagai jaminan hutang?
Sebelum memulai sedikit membedah Perpres 66, bolehlah kita melihat pertama kali “judul inti” atau bisa disebut kata kunci dari Perres 66 ini, yaitu “Pendanaan” “Kepentingan Umum” “Proyek Strategis Nasional”. Dari ketiga kata tersebut maka dapat dipastikan substansi dari Perpres ini tidak jauh dari ketiga kata kunci tersebut. Pertama terkait “Pendanaan”, maka dapat dibayangkan bahwa Perpres 66 ini mengatur anggaran yang akan dikeluarkan oleh pemerintah dalam melaksanakan pembangunan. Pembangunan yang seperti apa? Yaitu terkait dengan kata kunci kedua, yaitu “Kepentingan Umum”. Apakah ada pembangunan yang bukan untuk kepentingan umum? Tentu ada misalnya pembangunan yang dilaksanakan untuk kepentingan bisnis atau swasta. Jadi tidak semua pembangunan dapat dibiayai negara sesuai yang diatur dalam Perpes 66 ini.
Tetapi tidak semua pembangunan untuk kepentingan umum yang dilaksanakan pemerintah juga dapat tunduk atau termasuk dalam pengaturan Perpres 66 ini. Hanya pembangunan untuk kepentingan umum yang terkait dengan kata kunci ketiga saja yang tunduk atau termasuk dalam pengaturan Perpres 66 ini, yaitu “Proyek Strategis Nasional” (selanjutnya kita sebut PSN). Bagaimana kita tahu yang mana saja proyek yang masuk dalam PSN? Definisi apa yang dimaksud dengan PSN sampai dengan daftar PSN dapat kita lihat mulai dari Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016. Peraturan Presiden Nomor 58 Tahun 2017, dan Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2018. Jadi, selain proyek pemerintah yang masuk kategori dalam ketiga perpres tersebut, maka proyek tersebut bukan PSN.
Pendanaan
Baik sebelum maupun setelah diberlakukannya Perpres 66 ini, proses pengadaan tanah dilaksanakan baik melalui dana pemerintah langsung ke masyarakat (APBN atau APBD) maupun melalui dana swasta (disebut juga badan usaha) yang nantinya diganti oleh pemerintah. Oleh karena itu disebut juga dana talangan tanah, karena swasta “menalangi” atau membayar terlebih dahulu uang ganti kerugian (UGK) ke masyarakat untuk nanti pemerintah mengganti talangan tersebut di waktu tertentu.
Yang menjadi perbedaan yaitu sebelum diberlakukannya Perpres 66 ini, dana yang disediakan pemerintah untuk mengganti dana talangan swasta berdasarkan 1 tahun anggaran saja. Dana talangan untuk tahun berikutnya akan dimulai dari nol lagi, proses dari awal lagi, perencanaan penganggaran lagi, laiknya proses APBN/APBD untuk tahun anggaran berikutnya. Akibatnya apabila dana talangan tidak terserap di tahun ini, maka dana talangan tersebut akan masuk kembali ke kas negara dan dianggap “hangus”. Dana talangan tahun depan menunggu alokasi anggaran dana talangan sesuai dengan pengalokasian anggaran. Jadi misalnya dari dana 1 trilyun di tahun anggaran 2019 hanya bisa terserap 600 milyar, maka sisa 400 milyar tidak dapat langsung digunakan di tahun anggaran 2020. Alokasi anggaran di tahun anggaran 2020 harus diulang dari nol, mulai dari perencanaan dan pengusulan kembali. Akibatnya apa? Bisa saja dana talangan yang tersedia di tahun anggaran 2020 lebih kecil dari kebutuhan dana talangan tanah karena yang sisa 400 milyar tidak otomatis bisa digunakan meskipun di tahun anggaran sebelumnya belum terserap.
Dengan adanya Perpres 66 ini, maka apabila terjadi seperti contoh kasus di atas, dana sisa tahun sebelumnya bisa diakumulasikan di tahun anggaran berikutnya. Hal mana terlihat dari pasal 3 Perpres 66 yang mengatur mengenai pembentukan dana jangka panjang dan atau dana cadangan. Sehingga dana yang tidak terpakai di tahun sebelumnya tetap ada, tidak dikembalikan ke kas negara, dan sewaktu-waktu dapat digunakan saat terjadi pembayaran UGK kepada pihak yang berhak. Karena beberapa kali terjadi, pihak yang berhak sudah setuju dengan harga UGK dan menunggu pembayaran, namun tidak kunjung dibayarkan. Salah satunya karena masalah teknis tersebut. Diharapkan dengan adanya Perpres 66 ini maka kejadian serupa tidak akan terjadi kembali, dan pembayaran cepat dilakukan serta pembangunan PSN dapat segera selesai. Meskpun pengaturan teknisnya masih menunggu Peraturan Menteri Keuangan yang mengatur lebih detail teknis pelaksanaannya.
Kepentingan Umum
Dalam pelaksaaan pengadaan tanah, terutama pembangunan bagi kepentingan umum yang masuk dalam PSN, seringkali dan hampir pasti terjadi, tanah yang terkena lokasi pembangunan bukan hanya tanah milik warga masyarakat umum, melainkan juga tanah berkarakter khusus seperti instansi negara (tanah dan aset kementerian atau lembaga atau BUMN/BUMD), tanah fasilitas umum dan sosial (taman lapang, posyandu, jalan kampung, dll), tanah wakaf (pemakaman, madrasah, masjid, mushola, sawah produktif kemenag, dll.), tanah kas desa (balai pertemuan desa, kantor kelurahan dan kecamatan, dll), kawasan hutan (hutan lindung, hutan produksi, dll). Sementara tanah-tanah tersebut juga melayani kepentingan umum, namun terkena proyek pembangunan bagi kepentingan umum yang masuk dalam daftar PSN.
Selama pelaksanaan rezim Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta turunannya, pelaksanaan pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum tidak serta merta berlaku absolut. Apabila diketemukan tanah-tanah berkarakter khusus sebagaimana disebutkan sebelumnya (yang juga diatur dalam Pasal 4 Perpres 66), maka perlakuannya mengikuti peraturan perundang-undangan terkait tanah berkarakter khusus tersebut. Selama ini, tanah berkarakter khusus tersebut belum disebutkan dalam Peraturan Presiden yang khusus mengatur PSN. Apakah sebelum disebutkan dalam Pasal 4 Perpres 66, tanah berkarakter khusus tidak terkena dampak PSN? tetap terkena dan terkendala masalah ganti kerugian sehingga penyelesaiannya berlarut-larut. Secara klasik, pengeluaran negara untuk aset tanah haruslah dari belanja modal karena sifatnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari 12 bulan sesuai Buletin Teknis Standar Akuntansi Pemerintahan Nomor 09 tentang Akuntansi Aset Tetap dan Nomor 15 tentang Akuntansi Aset Tetap Berbasis Akrual.
Jadi yang menjadi permasalahan yaitu pengeluaran negara untuk pembebasan tanah berkarakter khusus tidak dapat dilakukan melalui belanja modal karena mungkin tanah tersebut sudah dicatat sebagai aset negara yang dikuasai instansi negara, atau tidak dapat disertpikatkan oleh instansi yang membutuhkan tanah karena sudah dicatat sebagai aset instansi lain diluar instansi yang membutuhkan tanah. Maka dengan dengan adanya Perpres 66, pengeluaran negara untuk tanah berkarakter khusus dimungkinkan melalui jalur lain selain jalur belanja modal. Jadi, Perpres 66 bukan menjadikan tanah berkarakter khusus sebuah jaminan hutang pemerintah kepada badan usaha atau kepada siapapun.
Sebagai contoh adanya tanah kehutanan yang terkena proyek PSN, maka mekanisme yang digunakan mengikuti Undang-Undang Kehutanan yaitu dengan Ijin Pinjam Pakai yang proses perijinannya mulai dari BUMN/BUMD yang menguasai areal kehutanan yang terkena proyek sampai dengan ke Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Contoh lain, untuk tanah wakaf proses penggunaannya harus tunduk kepada Undang-Undang Wakaf. Sisi baiknya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 menganut asas pemisahan vertikal dan horizontal atas tanah. Jadi pemilik tanah belum tentu absolut juga pemilik tegakan (bangunan dan tanaman di atasnya). Bisa saja pemilik tanah si A namun pemilik tanaman adalah si B sebagai penggarap. Meskipun begitu, kadang legitimasi atau alas hak antara si pemilik dengan si penggarap yang sering menjadi masalah. Yang menjadi dasar seseorang atau kumpulan orang disebut sebagai penggarap yang sah kadangkala tidak lengkap atau tidak ada.
Misalnya di dalam kawasan hutan terdapat bangunan rumah warga yang tidak diakui oleh pengelola hutan, tetapi bangunan rumah warga tersebut sudah berdiri tanpa ijin selama belasan bahkan mungkin puluhan tahun. Kemudian saat terkena proyek PSN, pengelola hutan maupun warga yang ada disitu mulai mengurus administrasi aset mereka masing-masing, misalnya si pengelola turun mengukur kembali batas areal hutan, si warga mengumpulkan bukti pajak rumah selama tinggal di areal tersebut, dan sebagainya.
Mungkin seandainya hal tersebut terjadi di rezim Orde Baru, pembangunan pasti tidak terhambat karena suka atau tidak suka apabila lahan masyarakat terkena proyek pembangunan siapapun itu baik warga maupun instansi tidak akan dapat melawan. Tetapi itu adalah cara represif jaman dulu yang melanggar hak asasi manusia dari warga masyarakat, dan apakah saat ini bisa diperlakukan seperti itu? Nyatanya tidak bisa sama sekali. Dapat kita lihat bersama yang paling mudah terlihat di jalan tol baru, banyak ruas jalan tol yang selesainya sampai bertahun-tahun bahkan belasan tahun baru dapat beroperasi. Kadang kita lihat juga di sisi kanan dan kiri sudah bebas dan terbangun namun ditengah-tengah masih tanah kosong karena si pemilik tidak mau melepaskan tanahnya. Jadi kepentingan umum yang terkena dampak pembangunan bagi kepentingan umum dalam Perpres 66 juga tetap dihargai dan diproses sesuai ketentuan yang berlaku.
Proyek Strategis Nasional
Sebagaimana telah dijelaskan di bagian awal tulisan, yang tunduk dan masuk dalam pengaturan Perpres 66 hanyalah pembangunan yang dikategorikan sebagai PSN, yang daftar PSN tersebut sudah jelas diatur dalam Perpres tersendiri. Bila kita perhatikan daftar PSN dalam Perpres 56 Tahun 2018, yang termasuk dalam PSN adalah jalur transportasi, pelabuhan, bandara, irigasi dan bendungan, air minum, persampahan, pariwisata, rumah susun, dan infrastruktur lainnya. Tidak ada satupun PSN yang mengatur usaha pertambangan dan perkebunan. Bahkan seringkali perkebunan yang berada dibawah penguasaan PT Perkebunan Nusantara (PTPN) harus direlokasi karena terkena proyek PSN.
Leave a Reply