Tanah berkarakter khusus dalam pengertian pengadaan tanah bagi kepentingan umum adalah segala jenis tanah yang dikuasai, dimiliki, atau alas haknya dipegang selain warga masyarakat/individu warga negara. Yang termasuk tanah berkarakter khusus yaitu tanah kawasan hutan, tanah kas desa, tanah wakaf, tanah ulayat/tanah adat, dan atau tanah aset Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha Milik Daerah. Seluruh tanah berkarakter khusus tersebut selalu menjadi batu sandungan bagi percepatan pengadaan tanah bagi pembangunan karena, diakui atau tidak, adanya birokrasi dan ego sektoral antarinstansi pemerintah sendiri. Namun kluster oengadaan tanah di dalam UU Cipta Kerja, tanah berkarakter khusus ini diberikan pengaturan khusus pula agar penyelesaian pengadaan tanah bagi kepentingan umum lebih cepat dibanding sebelum-sebelumnya.
Continue reading “Tanah Berkarakter Khusus Dalam UU Cipta Kerja”Bank Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat
Sudah beberapa tahun terakhir wacana mengenai pembentukan bank tanah sudah mengemuka. Awalnya direncanakan pembentukan bank tanah melalui peraturan presiden yang ruang lingkup kewenangannya masih di Kementerian ATR/BPN. Namun, dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja, resmilah dasar hukum terhadap pembentukan bank tanah yaitu UU Cipta Kerja tersebut. Pengaturan lebih lanjut akan diatur dalam peraturan presiden maupun peraturan pemerintah mengenai bank tanah. Tujuannya sangat baik untuk menarik investasi dan meratakan akses terhadap tanah, karena banyak konglomerasi individu maupun perusahaan yang memiliki tanah dimana-mana namun seringkali diabaikan (dibeli hanya untuk investasi). Namun, perlu juga diperhatikan wewenang dan fungsi bank tanah yang pro ke rakyat karena urusan tanah adalah urusan yang sangat sensitif dan secara administrasi seringkali menjadi sengketa di antara parapihak.
Continue reading “Bank Tanah Untuk Sebesar-besar Kemakmuran Rakyat”Ganti Rugi Atas Tanah Yang Akan Direlokasi Pemerintah Itu Sesuai Harga Pasar Atau NJOP?
Warga ibu kota yang musiman terdampak banjir setiap musim hujan, baik itu yang mendirikan bangunan di atas/di sempadan/di bantaran sungai maupun di daerah yang sebenarnya adalah area resapan, selalu menjadi salah satu topik utama setiap pemilihan gubernur di ibu kota. Mereka menjadi topik utama atas isu penggusuran. Antara hak asasi memiliki tempat tinggal atau menempati daerah terlarang yang seharusnya tidak boleh menjadi tempat tinggal. Sebagian dari mereka menyatakan mau saja direlokasi apabila pemerintah mengganti rugi rumah dan tanah mereka sesuai harga pasar, bukan semata nilai jual objek pajak. Mereka juga sadar kalau tetap tinggal disitu maka pasti terkena banjir musiman, namun untuk pindah mereka tidak ada biaya karena kalau terpaksa pindah kemungkinan besar inginnya bisa beli rumah yang lokasinya masih ditengah kota atau minimal di pinggir ibu kota yang tidak terlalu jauh dengan ibu kota. Karena kalau pindah lokasi rumah terlalu jauh, mereka akan kesulitan datang ke tempat bekerja mereka saat ini sehingga mereka sangat mengharapkan ganti kerugian yang sesuai menurut mereka. Namun apakah yang dimaksud dengan ganti kerugian yang sepadan? Obyektif kah harga yang sepadan?
Continue reading “Ganti Rugi Atas Tanah Yang Akan Direlokasi Pemerintah Itu Sesuai Harga Pasar Atau NJOP?”Secuplik Pratinjau Kata Kunci dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2020
Pada 19 Mei 2020 yang lalu, Presiden Jokowi telah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2020 tentang Pendanaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum Dalam Rangka Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional (Perpres 66). Setelah diterbitkan, Perpres 66 tersebut ternyata memerlukan peraturan pelaksana yang mengatur lebih detail terkait beberapa hal teknis pelaksanaannya. Selain itu juga Perpes 66 dianggap memuluskan perampasan tanah masyarakat demi kepentingan pemerintah. Apakah benar seperti itu? Apakah Perpres 66 menjadikan tanah masyarakat sebagai jaminan hutang?
Continue reading “Secuplik Pratinjau Kata Kunci dalam Peraturan Presiden Nomor 66 Tahun 2020”Nasib Masyarakat (Adat) Yang Menempati Tanah Yang Teregister Sebagai Tanah Kehutanan
Diakui atau tidak, telah banyak terjadi konflik agraria antara negera dalam hal ini pemerintah dan warganya. Menurut Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) sepanjang 2019 saja telah terjadi 279 konflik agraria, dengan luas wilayah konflik mencapai 734.239 hektar yang tersebar di seluruh desa di seluruh provinsi di Indonesia. Jauh sebelumnya, R Yando Z dalam tulisannya di Kompas mencatat terdapat 203 aduan dari komunitas adat mengenai konflik tanah. Kemudian apakah hak masyarakat (adat) atas tanah secara efektif masih diakui di Indonesia?
Continue reading “Nasib Masyarakat (Adat) Yang Menempati Tanah Yang Teregister Sebagai Tanah Kehutanan”Penyesuaian Tarif Jalan Tol di akhir Tahun 2019, perlu?

Kabar mengenai penyesuaian tarif jalan tol di akhir tahun 2019 menjadi salah satu hal yang menyedot mayoritas perhatian publik. Kenaikan tersebut dilakukan setiap dua tahun sekali oleh Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) berdasarkan tarif lama yang disesuaikan dengan pengaruh inflasi. Hal ini menjadi perhatian publik misalkan terlihat dari keberatan Asosiasi Logistik, dan tanggapan warga masyarakat yang merasa pelayanan tol belum ada peningkatan yang signifikan tapi tetap saja naik tarifnya. Lalu apakah pengusaha jalan tol/operator tol akan rugi bila tidak ada kenaikan tarif? Apakah masyarakat tetap akan menggunakan tol, apabila tarifnya dinaikkan?
Continue reading “Penyesuaian Tarif Jalan Tol di akhir Tahun 2019, perlu?”Beberapa perbedaan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum dengan Jual Beli Tanah Perdata
Terdapat beberapa perbedaan mekanisme dan prosedur antara Pengadaan Tanah yang dilaksanakan oleh pemerintah dalam rangka pembangunan untuk kepentingan umum dengan juali beli biasa / jual beli perdata antara orang per orang atau orang dengan orang dengan perusahaan.
Musyawarah dalam Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum samakah dengan Negosiasi Harga pada proses jual beli perdata?
Mempertimbangkan praktek nyata pembebasan tanah bagi kepentingan umum (selanjutnya disebut Pengadaan Tanah) pada rezim Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan Untuk Kepentingan Umum (selanjutnya disebut Perpres 36 / 2005) yang mengakibatkan proses Pengadaan Tanah menjadi berlarut-larut, pemerintah pada saat itu menerbitkan UU 2 / 2012 sebagai pengganti Perpres 36 / 2005 beserta segala perubahannya. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 (selanjutnya disebut UU 2 / 2012) beserta berbagai turunannya melakukan perbaikan dan perubahan ketentuan yang sebelumnya telah ada di Perpres 36 / 2005 serta menambahkan berbagai hal baru yang seluruhnya bertujuan mempercepat Pengadaan Tanah.
Salah satu perubahan/penambahan yang signifikan dalam rezim UU 2 /2012 beserta turunannya adalah pengenalan lembaga Appraisal / Tim Penilai Tanah Independen untuk menilai seluruh objek Pengadaan Tanah (nilai tanah, nilai bangunan, dan nilai tanaman) dan pengaturan batasan waktu / hari pelaksanaan dalam tiap tahapan Pengadaan Tanah. Tujuan intinya adalah mempercepat proses Pengadaan Tanah sehingga pekerjaan infrastruktur tidak terhambat dan bisa dipercepat pengerjaannya. Namun, terdapat beberapa hal yang masih dianggap oleh masyarakat mapupn praktisi pengadaan tanah mengenai definisi dan pelaksanaan apa yang disebut dengan “musyawarah bentuk dan atau besarnya ganti kerugian” (selanjutnya disebut musyawarah). Pemilik tanah yang tanahnya akan dibebaskan untuk kepentingan umum (selanjutnya disebut Pihak Yang Berhak) tidak jarang menginginkan adanya sebuah negosiasi atau tawar menawar harga di dalam musyawarah. Kemudian timbul pertanyaan apakah musyawarah Pengadaan Tanah sama dengan negosiasi? Apakah yang dimaksud dengan musyawarah? Bagaimanakan seharusnya msuyawarah tersebut dilaksanakan sesuai rezim UU 2 / 2012?