Warga ibu kota yang musiman terdampak banjir setiap musim hujan, baik itu yang mendirikan bangunan di atas/di sempadan/di bantaran sungai maupun di daerah yang sebenarnya adalah area resapan, selalu menjadi salah satu topik utama setiap pemilihan gubernur di ibu kota. Mereka menjadi topik utama atas isu penggusuran. Antara hak asasi memiliki tempat tinggal atau menempati daerah terlarang yang seharusnya tidak boleh menjadi tempat tinggal. Sebagian dari mereka menyatakan mau saja direlokasi apabila pemerintah mengganti rugi rumah dan tanah mereka sesuai harga pasar, bukan semata nilai jual objek pajak. Mereka juga sadar kalau tetap tinggal disitu maka pasti terkena banjir musiman, namun untuk pindah mereka tidak ada biaya karena kalau terpaksa pindah kemungkinan besar inginnya bisa beli rumah yang lokasinya masih ditengah kota atau minimal di pinggir ibu kota yang tidak terlalu jauh dengan ibu kota. Karena kalau pindah lokasi rumah terlalu jauh, mereka akan kesulitan datang ke tempat bekerja mereka saat ini sehingga mereka sangat mengharapkan ganti kerugian yang sesuai menurut mereka. Namun apakah yang dimaksud dengan ganti kerugian yang sepadan? Obyektif kah harga yang sepadan?
Salah satu alternatif solusi mencegah banjir adalah membangun infrastruktur pencegah banjir, baik itu kanal besar, revitalisasi saluran air di pinggir jalan dan permukiman, juga pembersihan sampah secara rutin, sampai kepada sosialisasi budaya bersih ke masyarakat. Namun, tidak dapat dipungkiri tersedianya daerah resapan yang memadai dan pembersihan daerah sekitar sungai dari permukiman liar menjadi satu faktor penting dalam mencegah banjir. Terbukti walau dalam beberapa kampanye calon gubernur menyebutkan tidak akan merelokasi atau menggusur, begitu sudah terpilih menjadi gubernur ternyata pilihan relokasi atau menggusur haruslah terpaksa dilakukan. Karena tidak semua area itu adalah tempat tinggal atau permukiman. Harus ada ruang terbuka hijaunya donk sebagaimana harus ada daerah resapannya juga.
Di sisi lain, dengan banyaknya permukiman yang ada di daerah resapan atau bantaran sungai, apalagi sudah dihuni sejak berpuluh-puluh tahun lamanya, isu relokasi atau penggusuran jelas menjadi opsi yang sulit diambil. Selain karena kecerendungan resistensi warga yang sudah tinggal disitu, juga karena biaya yang diperlukan untuk relokasi cenderung sangat besar. Hal itulah yang pertama kali menjadi jawaban kenapa relokasi atau penggusuran sangat sulit dilakukan. Biaya yang diperlukan sangat besar karena secara filosofis, tanah itu memiliki ikatan emosial dan historis dengan manusia yang tinggal di atasnya. Apalagi sudah tinggal puluhan tahun, dari kakeknya masih muda sampai sekarang sudah punya cucu misalnya. Jadi, nilai atas penggantian relokasi atau penggusuran menjadi sangat subyektif.
NJOP vs Harga Pasar
Pada umumnya apabila ditanyakan kepada warga masyarakat yang berpotensi direlokasi, akan menyatakan bahwa mereka mau direlokasi apabila tanah mereka dibayar sesuai harga pasar bukan harga NJOP. Sebagai ilustrasi saja, berdasarkan Peraturan Gubernur DKI Jakarta Nomor 37 Tahun 2019 tentang Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, harga tanah terendah di Tebet sebesar Rp2,9 juta per meter persegi. Sementara harga pasaran rumah di daerah Kebon Baru di Tebet juga sebesar Rp5 juta per meter persegi. Dari ilustrasi tersebut sudah terlihat alasan kuat warga masyarakat meminta harga pasar.
Harga Pasar Tercatat dan Tidak Tercatat
Pada praktiknya warga masyarakat sudah menentukan harga pasar sesuai apa yang mereka tahu atau dengar dari transaksi jual beli di sekitar tempat tinggalnya. Sehingga mereka akan meminta suatu harga tertentu yang sudah mereka hitung sendiri berdasarkan keyakinan mereka saat akan dilakukan relokasi. Yang menjadi masalah adalah saat Tim Penilai Independen (Appraisal) sudah mengeluarkan hasil penilaian atas tanah yang akan direlokasi, ada kemungkinan tidak sesuai dengan harapan warga masyarakat tadi. Di awal warga sudah berbicara bahwa mereka siap direlokasi apabila ganti rugi berdasarkan nilai pasardan bukan nilai NJOP. Namun, disaat Appraisal sudah mengeluarkan nilai, ternyata ada akhirnya tidak sesuai dengan ekspektasi mereka dengan yang dimaksud harga pasar.
Kenapa hal tersebut dapat terjadi? Pertama, karena Appraisal wajib menggunakan data pasar resmi tercatat. Yaitu histori transaksi jual beli tanah yang nilainya tercatat pada Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) daerah setempat, tercatat di Badan Pertanahan Nasional setempat, dan sumber-sumber lain yang tercatat resmi. Loh memangnya ada jual beli tidak tercatat? Ada! Sebagai contoh jual beli sebagian tanah bersertipikat yang tidak diikuti dengan pemecahan sertipikat ke BPN. Atau juga jual beli yang dilakukan tidak sesuai kondisi riil. Semisal A membeli tanah dari B seluas 100 meter persegi seharga Rp1 milyar, namun harga jual beli yang dilaporkan ke camat/PPAT hanya seharga Rp400 juta untuk tanah seluas 100 meter persegi. Maka yang tercatat resmi transaksi tersebut adalah Rp400juta untuk tanah seluas 100 meter persegi. Sementara transaksi tersebut adalah transaksi termahal yang pernah terjadi di kecamatan lokasi jual beli. Kedua contoh tersebut adalah contoh nyata yang terjadi di beberapa kecamatan di suatu kabupaten di pulau Jawa.
Jadi saat ada protes warga ke Appraisal, “pak Appraisal saya riil ini dulu keluar uang Rp1 milyar loh pak, kenapa hasil penilaian bapak harga dasarnya cuma Rp400 juta?”. Appraisal dengan mudah menjawab “cukup tunjukkan dokumen resmi, bukti transaksi jual beli, bukti bayar pajak, atau dokumen apapun yang menunjukkan pernah ada transaksi sebesar Rp1 milyar untuk 100 meter persegi. Kalau memang ada, pasti kami langsung rubah harga dasar penilaian tanah bapak menjadi Rp1 milyar untuk 100 meter persegi”. Kemudian warga tersebut tidak dapat menunjukkan buktinya karena memang transaksi yang dia lakukan sengaja diturunkan nilainya dari harga riil demi menghindari pembayaran pajak yang lebih besar.
Kedua, setelah diberlakukannya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 beserta segala turunannya, sebenarnya nilai penggantian atas tanah yang akan direlokasi itu sudah pasti di atas nilai pasar. Karena dengan adanya penentuan harga oleh Apprasial, sebenarnya nilai ganti kerugian itu terdiri dari beberapa komponen yang ditambahkan sehingga sudah pasti di atas harga pasar, misalnya penilaian atas kerugian fisik berupa bangunan, tanaman, ruang di atas maupun dibawah tanah, dan kerugian lain yang dapat dinilai. Ditambah dengan penilaian atas kerugian non fisik seperti kehilangan pekerjaan atau alih profesi karena bisnisnya direlokasi, kerugian emosial atas tanah (solatium), biaya transaksi, kompensasi masa tunggu, kerusakan fisik lain akibat terpotongnya sebaian tanah/bangunan yang terkena relokasi, dan sebagainya.
Namun, kembali kepada nilai emosional dan sejarah atas tanah terhadap si pemilik, meskipun Appraisal sudah memberikan harga di atas harga pasar, tetap ada saja yang menolak untuk direlokasi karena nilai emosional dan sejarah atas tanah tersebut. Suatu contoh nyata, ada rumah yang dihuni oleh tiga kepala keluarga, keluarga si bapak-ibu, dan keluarga dari dua anak si bapak-ibu yang sudah menikah namun tetap tinggal di satu rumah tersebut. Rencana terkena relokasi dan sudah diawarkan harga yang sangat bagus. Harga pasar rumah tersebut Rp2,5 milyar, dan hasil Appraisal adalah Rp3,5 milyar. Harga tersebut masih dirasa kurang karena kedua anak tersebut tidak mau tinggal bersama lagi apabila nanti direlokasi. Mereka ingin orang tua medapat Rp2 milyar dan mereka berdua masing-masing mendapat Rp1 milyar. Sehingga harga untuk relokasi yang diinginkan adalah Rp4 milyar. Dalam kasus ini apabila relokasi tersebut memiliki Surat Keputusan Penetapan Lokasi oleh kepala daerah setempat maka pemerintah dapat menitipkan ganti ruginya ke Pengadilan Negeri setempat. Namun, apabila kasus ini adalah pengadaan tanah skala kecil yang tidak memiliki Surat Keputusan Penetapan Lokasi dari kepala daerah setempat maka terjadi deadlock alias tidak tercapai kesepakatan harga antara pemilik rumah dengan pemerintah yang ingin merelokasi rumah tersebut.
Leave a Reply