Pembangunan infrastruktur yang sangat masif di era kepemimpinan Presiden Jokowi, memiliki berbagai dampak di masyarakat baik itu positif maupun negatif. Dampak positif misalnya kelancaran transportasi antardaerah yang dilalui jalan tol misalnya, meskipun ada juga muncul beberapa keluhan mengenai masih agak tingginya tarif jalan tol. Dampak negatifnya misalnya masalah hak asasi manusia dan lamanya pembebasan tanah karena banyaknya peraturan yang saling tumpang tindih terkait pembebasan tanah. Penggunaan tanah untuk pembangunan infrasruktur tidak hanya membutuhkan dana yang besar untuk membayar tanah milik individu/warga masyarakat, tetapi juga perizinan dari instansi terkait misalnya Kementerian Agama untuk pembebasan tanah wakaf, Kementerian Kehutanan untuk pembebasan kawasan hutan, Kementerian BUMN untuk pembebasan tanah perusahaan BUMN, Kementerian Pertahanan untuk tanah Tentara Nasional Indonesia, dan seterusnya. Oleh karena itu muncul ide untuk membentuk suatu perundang-undangan pembebasan tanah yang bersifat sapu jagat atau omnibus law. Namun, memangkas peraturan lain yang juga terkait dengan berbagai jenis instansi negara adalah suatu tantangan yang berat. Ibarat mengurangi kewenangan suatu kementerian/lembaga terkait dengan aset yang dimilikinya apabila aset tanahnya akan digunakan untuk pembangunan infrastruktur. Akibatnya akan banyak resistensi?
Pemangkasan berbagai peraturan pembebasan tanah yang saling tumpang tindih tidak hanya melalui perubahan atau pencabutan suatu Undang-undang (UU), tetapi juga regulasi turunan UU yang jumlahnya sangat banyak. Dapat dimaklumi mengapa menjadi sangat banyak, karena setiap sektor memang diberikan keleluasaan untuk mengatur oleh konstitusi. Sayangnya, regulasi turunan itu seringkali terlalu banyak, tidak konsisten, seringkali cenderung kaku dan mengekang ruang gerak. Akibatnya sudah bisa dilihat, untuk perizinan pemberian pemanfaatan kawasan hutan saja harus melalui ke berbagai bagian/biro sebelum akhirnya dapat diajukan ke kementerian kehutanan. Tanpa bermaksud mendiskreditkan kementerian tertentu, karena semua kementerian/lembaga pasti memiliki kewenangan yang sama terkait pengaturan internal sebagai regulasi turunan dari suatu UU tertentu.
Oleh karena itu pemerintah dan DPR berupaya mengembangkan sistem hukum yang kondusif dengan suatu sinkronisasi UU melalui konsep omnibus law. Dengan UU sapu jagat itu maka berbagai UU dan regulasi turunannya akan dipangkas, disederhanakan, dan diselaraskan. Sehingga nantinya UU, peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri (permen), peraturan direktur jenderal (perdirjen), sampai peraturan daerah (perda) harus disederhanakan.
Tantangan pertama adalah adanya resistensi dari pihak terkait yang wewenangnya akan tercabut atau hilang dengan diberlakukannya omnibus law. Kemungkinan perundingan atau penyusunan terkait penyusutan kewenangan ini adalah yang paling alot. Kewenangan apapun yang dimiliki oleh suatu kementerian/lembaga, selama kewenangan itu berselisih dengan pengadaan tanah bagi kepentingan umum maka kewenangan itu dapat diabaikan dan pengadaan tanah tetap dapat berjalan terus.
Tantangan kedua adalah penguatan satu entitas tunggal, baik itu pemerintah pusat atau daerah terhadap suatu keputusan pengadaan tanah bagi kepentingan umum. Contohnya yaitu surat penetapan lokasi (penlok) pengadaan tanah bagi kepentingan umum dari Gubernur sebagai penguasan tertinggi di suatu daerah menjadi sangat penting. Sehingga nantinya penlok dalam omnibus law adalah kunci utama dalam melaksanakan proses pembebasan tanah. Peraturan apapun yang sudah ada dan berlaku di suatu area tertentu akan menjadi tidak berlaku apabila suatu area tertentu itu sudah ditetapkan di dalam penlok. Begitu sudah ditetapkan dalam Penlok, maka tidak ada lagi yang namanya tanah kehutanan, tanah adat, tanah instansi, dan seterusnya. Mekanismenya dapat berupa penghapusan aset secara otomatis, perlakuan yang sama dengan tanah milik individu/warga masyarakat (dibayar dengan Uang Ganti Kerugian), atau penggantian tanah dengan prosedur yang lebih simpel. Misalnya yang tadinya memerlukan izin penghapusan aset ke dirjen, maka dengan adanya penlok yang ditetapkan dalam omnibus law hanya memerlukan pemberitahuan ke menteri terkait.
Tantangan ketiga adalah sinkronisasi regulasi yang dihapus atau disederhanakan. Sebagai contoh terdapat banyak peraturan perundang-undangan yang diuji ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan beberapa sudah diputus oleh MK untuk diperbaiki atau dihapus. Namun kenyataannya pemerintah tidak dengan segera mengubah, menyesuaikan, atau menghapus regulasi yang sudah diputuskan oleh MK untuk diperbaiki atau dihapus. Maka dapat dibayangkan apabila omnibus law pengadaan tanah sudah disahkan, maka pemerintah perlu segera mengubah atau menghapus berbagai regulasi terkait yang secara substansi dicabut atau diubah oleh omnibus law pengadaan tanah. Menghapus satu perundang-undangan lebih mudah apabila dibandingkan dengan merevisi sebagian saja dari suatu perundang-undangan. Tidak hanya di level UU, tetapi sampai ke regulasi pelaksana dibawahnya, ribuan regulasi yang berubah apakah sanggup disinkronisasi segera? Tantangan keempat yaitu perlunya penyeimbangan antara hak asasi manusia (HAM) dengan pencabutan hak atas tanah demi pembangunan bagi kepentingan umum. Semangat dari adanya omnibus law adalah percepatan pelaksanaan suatu kegiatan, dalam hal ini misalnya pengadaan tanah. Apabila omnibus law sudah diberlakukan, sangat memungkinkan terjadinya pelanggaran HAM yang lebih besar. Apabila pelaksanaan UU 2 Tahun 2012 saja masih menimbulkan masalah HAM terkait pencabutan hak atas tanah, sangat dikhawatirkan omnibus law makin memperbesar potensi pelanggaran HAM terkait tanah.
Leave a Reply