Banjir mengawali pemberitaan di berbagai media arus utama di awal tahun 2020. Tetapi tidak hanya banjir, gerakan-gerakan yang membawa nama kerajaan juga menghiasi berbagai pemberitaan. Disaat ada negara Asia yang penduduknya lebih banyak dari Indonesia namun menjadi negara pertama dari Asia yang berhasil mengirimkan satelit ke Mars (India, dengan satelit MoM yang diorbitkan di 2013), justru Indonesia disibukkan dengan pembahasan kebangkitan jaman kerajaan yang dipimpin oleh segelintir orang. Juga disaat sering terdengar Indonesia akan memiliki bonus demografi di 2030 s.d. 2040 karena banyaknya usia produktif, namun pemaknaan kejayaan di masa lalu sering dimaknai keliru atau salah kaprah yang dipersepsikan sebagai “kembali ke kejayaan” atau “kemurnian dan kesempuraan”. Sayangnya yang mempercayai tokoh pengusung tersebut juga lumayan banyak. Halusinasi berjamaah?
Menurut prof Azyumardi Azra hal tersebut antara lain muncul dari kegagapan informasi dan teknologi, deprivasi ekonomi, kemiskinan, pengangguran, kepincangan sosial budaya antarkelompok, dan pelarian psikologi dari masalah akut tak terpecahkan dari kehidupan individu. Sebab lain misalnya pertemuan antara doktrin dan konsep agama dengan budaya yang menjadi kultus, misalnya dalam fenomena imam mahdi, mengaku nabi baru setelah nabi Muhammad, ratu adil, titisan bung Karno, dan sebagainya. Hal-hal itulah yang diduga menyebabkan mudahnya banyak orang percaya dan menjadi pengikut. Bahkan misalnya untuk menjadi anggota salah satu kerajaan wajib menyumbang uang sebagai anggota.
Contoh pertama yang menggemborkan membangun kembali kejayaan kerajaan asli Indonesia pada jaman dahulu, kerajaan yang dipelajari siswa di bangku menengah dan atas, semisal Kerajaan Majapahit yang menjadi inspirasi Keraton Agung Sejagat Purworejo atau Kerajaan Pajajaran yang menjadi inspirasi Kekaisaran Sunda / Sunda Empire. Untung bukan Sunda Empire Strikes Back (plesetan dari salah satu judul Star Wars, hehe).

Contoh kedua yang menjanjikan harta, kekayaan, tujuan keagamaan yang cepat dan seketika. Meskipun disebut seketika, tapi seringnya selalu dibilang tunggu tanggal sekian, tunggu bulan ini, tunggu bulan itu. Bila ada yang pernah dengar dahulu marak dilakukan beberapa orang semisal Uang Bung Karno (UBK) yang bisa melipat sendiri bila di atas telapak tangan (gak sekalian bisa beranak sendiri jadi gak perlu kerja cari duit?), samurai Jepang yang bisa keras bisa lemas (keras kalau diapain lemas kalau diapain?), batu giok yang bila dipanaskan dengan api tidak akan panas selamanya (batu anti neraka?), rantai babi (kenapa harus babi?), dan sebagainya. Yang jaman sekarang misalnya ibadah umrah yang murah banget macam First Travel dan Abu Tours, serta investasi yang untungnya pasti berlipat-lipat dan gak pake mikir, macam Pandawa Grup. Banyak yang tertipu, tapi tidak banyak yang kapok. Karena para pegiat kegiatan tersebut seolah kehilangan nalar sehingga cepat melahap tawaran yang bisa disebut too good to be true, baby. Untungnya sih (masih untung lah) kerugian terbesar masih harta benda yang hilang, bukan nyawa seperti kasus David Koresh yang memerintahkan pengikutnya (Davidian) bunuh diri masal di Texas, Amerika Serikat. Hal itu karena sebenarnya penggagas kegiatan too good to be true, baby di Indonesia melakukan itu lebih karena faktor ekonomi. Menipu banyak orang dengan tujuan memperkaya diri sendiri atau keluarganya. Maka tidak heran apabila si penggagas tersebut pada umumnya menawarkan program tertentu, untung tertentu, atau manfaat tertentu yang akan didapat apabila mau mengakui mereka sebagai pemimpin dan menjadi anggota. Oleh karena itu, semoga pemerintah cq Mendikbud cq pemangku kepentingan lainnya bisa lebih aware akan hal ini, semisal mengurangi Gini Ratio, mengembangkan sumber daya manusia unggul yang melek teknologi, serta pembangunan infrastruktur non-fisik lainnya yang dapat mencegah halusinasi masal.
Leave a Reply