Gus Dur memerintah dari 20 Oktober 1999 sampai 23 Juli 2001. Jadi, Gusdur sempat merasakan dua kali Idul Fitri di masa pemerintahannya yaitu di akhir Desember 1999 dan akhir Desember 2000. Pada pertengahan 2001 Gus Dur sudah tidak lagi menjabat sebagai presiden sehingga tidak merasakan Idul Fitri yang ketiganya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Ada sebuah cerita unik pada Idul Fitri terakhir Gus Dur sebagai Presiden Republik Indonesia, sebagaimana ditulis di buku berjudul “Presiden Gus Dur: The Untold Story” (2014), karya Pak Priyo Sambadha Wirowijoyo, hlm. 82-88 dimana saat itu Idul Fitri jatuh pada akhir Desember 2000 (sekitar 26 atau 27 Desember 2000). Dikisahkan bahwa Protokol Istana pada awalnya merencanakan Presiden dan Ibu Negara akan menerima rakyat sebagai bagian dari open house di teras istana, tidak di Ruang Kredensial yang sering digunakan untuk berbagai acara resmi presiden.
Selain karena karpet di Ruang Kredensial tersebut baru saja dibeli dengan harga konon mencapai miliaran rupiah, juga karena di bulan Desember saat itu hujan sedang turun deras-derasnya, laiknya bulan Desember-Desember lainnya. Sehingga sudah pasti karpet tersebut akan menjadi kotor atau minimal basah karena banyaknya kaki yang sebelumnya berbasah-basahan di luar ruangan sebelum memasuki Ruang Kedensial untuk bersalaman dengan Presiden dan Ibu Negara. Oleh karena itu, staf rumah tangga istana sempat menyampaikan keberatan kepada Gus Dur. Dan apa jawaban Gus Dur? “Ya biarin aja rakyat menikmati karpet istana yang masih baru itu, toh karpet itu dibeli pakai uang rakyat,”.
Pada akhirnya semua berjalan sesuai keinginan Gus Dur. Hari itu, istana presiden benar-benar dikukuhkan Gus Dur sebagai istana rakyat dan mereka diperbolehkan masuk meskipun untuk bersalaman dengan Presiden mereka. Karpet istana yang baru saja dibeli, harganya mahal dan mewah, yang dibeli memakai uang rakyat, benar-benar dinikmati rakyat. Karpet berwarna biru tua dengan kembang-kembang kuning keemasan di sepanjang tepiannya itu telah kumal terinjak oleh kaki rakyat yang sebelumnya menjejak gerimis di tanah. Hari itu, Istana Merdeka benar benar menjadi istana rakyat.
Akan tetapi, pemikiran keberpihakan kepada rakyat yang dicontohkan oleh Gus Dur tersebut tampak mulai memudar atau banyak hilang bila tidak dapat dikatakan jarang sekali dipraktekkan. Bangsa kita pada umumnya masih nyaman pada mental feodalistik warisan penjajah. Di satu sisi, banyak dari kita yang gregetan dengan cerita di buku sejarah saat sekolah dulu mengenai bangsa kita yang dijajah bisa sampai 350 tahun, tapi di sisi lain banyak juga dari kita yang sangat nyaman dengan mental feodalistik.
Masih banyak dari kita bangsa Indonesia yang ingin dipandang dan memandang dirinya atau kelompoknya lebih tinggi atau harus dilayani karena memegang jabatan tertentu atau bagian dari kelompok tertentu. Sebagai contoh perkara korupsi yang begitu menggurita di berbagai sektor kehidupan bermasyarakat. Pejabat atau staf pegawai negara dirasakan memerlukan “insentif” tambahan dalam melaksanakan tugas yang seharusnya sudah masuk dalam tugas pokok fungsi mereka. Tentu, secara formal mungkin hanya sebagian kecil atau seharusnya dibilang oknum karena tidak semua aparatur seperti itu. Tapi, tanpa menunjuk hidung siapapun, secara riil di masyarakat “uang pelicin” seperti menjadi sebuah kebiasaan atau kewajiban yang biasa apabila ingin mempercepat urusan administrasi, terutama pada urusan pemerintah yang berhubungan langsung dengan masyarakat (pelayanan masyarakat).
Tapi tentu, saya yakin hal tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia. Tapi pasti juga terjadi di banyak negara, terutama negara yang belum sepenuhnya menggunakan teknologi dalam mayoritas pelayanan publiknya. Bahkan Amerika Serikat yang baru-baru ini terjadi demostrasi besar-besaran karena ada oknum petugas (yang kebetulan kulit putih) yang menangkap seorang minoritas dan menyebabkan meninggalnya si monirotas tersebut. Namun, setelah terungkap fakta ternyata jumlah kulit putih yang tertangkap dan diperlakukan sewenang-wenang justru jauh lebih besar dari jumlah minoritas yang tertangkap. Jadi, sebenarnya kesewenang-wenangan ternyata tidak memandang warna kulit. Kesewenang-wenangan itulah yang seharusnya dihilangkan dan seharusnya dianggap hostis humani generis.
Baru minggu lalu saya mendapat cerita dari ibu angkat saya yang menegur mobil seorang aparat yang parkir sembarangan di komplek rumah anaknya. Aparat tersebut marah-marah tidak terima, bahkan sampai nyamperin ibu kerumahnya sambil tetap marah-marah. Kebetulan di depan rumah anaknya ada seorang bapak yang pangkatnya jauh lebih tinggi, namun “hanya” berbaju kaos dan celana pendek sambil menyiram tanaman. Bapak itu menanyakan dengan sopan “kenapa kamu marah-marah sama orang tua? Mana coba KTP kamu sini saya lihat!?”
Si pemuda tadi juga jadi marah-marah ke si bapak dan bilang “emang siapa kamu? Minta-minta KTP saya? Kamu gak tau saya ini aparat?” Bapak yang tadinya sopan, jadi kesal juga dan balik membentak “loh, kau gak tau saya aparat juga? Saya berpangkat melati tiga ya! Apa pangkat kau?”. Mendengar hal tersebut, pemuda tadi matanya terbelalak kaget dan langsung membungkuk, kedua tangan ke depan seperti gerakan namaste pada Yoga dan langsung bilang “wah maaf banget pak saya gak tau pak… maaf pak”.
Kemudian si bapak melanjutkan “kamu paling bintara ya gak sopan kamu sama orang tua, kurang ajar kamu mau saya laporin kamu? Kamu tau anak ibu ini juga aparat di bagian SDM, mau kamu dipindah ke tengah laut sana?”. Makin kaget lah si pemuda tadi sambil lututnya bergetar. Moral dari cerita nyata tersebut adalah, ada saja warga masyarakat yang merasa bagian dari kelompok tertentu dan merasa dirinya lebih tinggi dari yang lain. Saat bertemu “lawan” yang seimbang atau lebih tinggi lebih hebat barulah meminta maaf. Atau ada bukti video kesewenang-wenangan baru menyesal dan meminta maaf. Hal yang seringkali kita lihat di media arus utama.
Kembali kepada kisah karpet Gus Dur di atas, karpet tidak dianggap ekslusif hanya boleh digunakan oleh yang kakinya bersih saja, yang mobilnya Rolls Rouce saja, atau pejabat negara saja, tetapi juga milik rakyat karena dibiayai dari pajak rakyat. Pemimpin berkewajiban menggunakannya untuk kepentingan bersama. Karpet bukan hak eksklusif ras ini atau kelompok berpenghasilan besar itu misalnya, tetapi juga milik semuanya. Karena justru sektor ekonomi informal yang walau kecil tapi sangat banyak adalah juga penggerak ekonomi negara. Yang mana dapat terbukti dari besarnya aset Bank BUMN Bank Rakyat Indonesia yang justru membuat bank itu besar bukan nasabah beromset sangat-sangat besar, tapi nasabah yang merakyat. Wujud dari keberpihakan kepada rakyat tidak melulu berupa kebijakan besar atau rumit. Kebijakan itu bisa berupa tindakan dasar sebagaimana dicontohkan Gus Dur: karpet yang dibeli menggunakan uang rakyat digunakan untuk melayani rakyat, bukan hanya melayani kelompok tertentu saja.
Leave a Reply