Keberadaan perjanjian baku menjadi hal yang lumrah dalam beberapa aspek perjanjian di Indonesia. Selain karena dianggap penyederhanaan kontrak (karena sudah ada format dan pengaturan yang siap pakai) terutama untuk pelaksanaan perjanjian massal antara satu pihak dengan banyak pihak secara berulang-ulang, juga disebabkan kelemahan posisi tawar dari salah satu pihak yang akan mengadakan perikatan terutama dalam hal klausula baku. Hal mana terlihat dalam pengadaan barang dan jasa (PBJ) pemerintah, yang dokumen pengadaan dan dokumen kontraknya sudah diatur dalam peraturan lembaga dan juga beberapa juga diatur dalam peraturan menteri. Dalam hal dokumen pengadaan atau dokumen kontrak sudah tersedia dan diatur tersendiri, hampir tidak memungkinkan bagi panitia pengadaan sampai ke pejabat pembuat komitmen untuk mengatur substansi yang lain daripada apa yang sudah diatur dalam peraturan lembaga atau peraturan menteri tersebut. Selain karena dapat dianggap menyalahi aturan yang sudah ditetapkan, juga dapat dikategorikan melebihi atau mengurangi standar dokumen yang diatur oleh lembaga yang berwenang. Kemudian apakah apabila ada usul perubahan, penambahan, atau pengurangan substansi yang diatur dalam kontrak pemerintah tersebut sama sekali dilarang? Atau apabila mau merubah harus diikuti dengan merubah peraturan lembaga atau menteri terkait? Atau ada dispensasi khusus untuk melakukan perubahan subtsansi kontrak?
Hukum perjanjian di Indonesia menganut asas kebebasan berkontrak. Perjanjian baku atau klausula baku adalah juga bagian dari perwujudan asas kebebasan berkontrak sebagaimana diatur pada pasal 1338 KUHper. Asas kebebasan berkontrak menjadi dasar suatu perikatan, sehingga setiap pihak yang mengadakan perjanjian bebas membuat perjanjian sepanjang isi perjanjian tersebut tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku,tidak melanggar kesusilaan dan ketertiban umum.
Menurut Prof. Johanes Gunawan, pakar perlindungan konsumen, Perjanjian baku merupakan perjanjian yang didalamnya terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh pelaku usaha, tanpa mengikutsertakan konsumen dalam menyusun kontrak, sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain, dan dalam keadaan dibawah kekuasaannya. Sedangkan klausula baku adalah pasal-pasal yang terdapat dalam perjanjian baku. baik berbentuk elektronik/digital atau non-digital.
Dengan kata lain, perjanjian baku disini dimaksudkan sebagai seluruh kesepakatan antara para pihak dimana isi pasal-pasal dalam perjanjian tersebut telah disiapkan oleh salah satu pihak dan pihak lainnya menerima pasal-pasal tersebut. Ruang lingkup perjanjian baku tidak terikat atau terbatas terhadap pembeli dan penjual, produsen dan konsumen, tapi lingkup yang lebih luas lagi semisal perjanjian kerja dan perjanjian kontraktual.
Sementara klausula baku diartikan sebagai salah satu ketentuan atau pasal dalam suatu perjanjian yang sifatnya sepihak, memiliki format tertentu yang tidak pernah didiskusikan dengan pihak/partner, dimana ketentuan atau pasal tersebut bersifat non-negotiable. Sehingga apabila salah satu pihak tidak dapat menerima syarat tersebut maka keseluruhan perjanjian menjadi batal karena tidak tercapainya kesepakatan, atau dianggap salah satu ketentuan atau pasal tersebut bersifat partem pro toto karena mewakili intisari perjanjian antara para pihak. Klausula baku ini seringkali diterapkan pada hubungan pembeli dan penjual, produsen dan konsumen. Sehingga klausula baku ini lekat dengan isu perlindungan konsumen.
Hal mana terlihat dari pengaturan klausula baku sebagai contoh di pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang melarang pencatuman klausula baku, kemudian Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 1/POJK.07/2013 dan Surat Edaran Otoritas Jasa Keuangan Nomor 13/SEOJK.07/2014 yang pada intinya melarang pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) merancang, merumuskan, menetapkan, dan menawarkan Perjanjian Baku, demi terciptanya keseimbangan, keadilan, dan kewajaran dalam pembuatan perjanjian dengan konsumen.
Perjanjian baku di lingkungan pemerintah
Perjanjian baku juga dikenal dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa di pemerintahan. Dalam melaksanakan kegiatannya, pemerintah melakukan pengadaan paket-paket pekerjaan di berbagai bidang sesuai dengan wewenang tugas dan fungsinya yang diikuti oleh pihak swasta. Paket pekerjaan tersebut tidak terbatas pada pekerjaan konstruksi saja, tetapi juga paket konsultansi, sampai pengadaan barang pemerintah. Pemerintah memiliki mekanisme pengadaan sendiri, melalui suatu lembaga tersendiri yaitu Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa (LKPP). Lembaga tersebut memiliki kewenangan menerbitkan aturan pengadaan barang/jasa melalui peraturan LKPP yang berlaku secara nasional. Aturan tersebut menjadi dasar dokumen pengadaan yang akhirnya menjadi dokumen kontrak yang disepakati oleh pemerintah dan swasta. Oleh karena itu, sebenarnya hal tersebut dapat digolongkan sebagai perjanjian baku karena is perjanjiannya sudah disiapkan dan dibakukan serta dituangkan dalam suatu bentuk formulir. Perjanjian tersebut formatnya sudah tersedia yang berupa dokumen pengadaan dan calon penyedia jasa (pihak swasta) dapat mengunduh dan mempelajarinya. Apabila calon penyedia jasa sanggup untuk memenuhi syarat dan ketentuan yang tercantum dalam dokumen tersebut, maka calon penyedia jasa dapat mengikuti proses pengadaan tersebut dan juga sebaliknya. Hal mana mirip dengan kondisi take it or leave it dalam istilah klausula baku.
Asas konsensual dalam perjanjian kerja dengan pemerintah
Meskipun dokumen lelang dan atau kontrak kerja pemerintah sudah disiapkan secara substansi dan format, apaah hal tersebut serta merta meniadakan asas konsensual dalam perjanjian antara pemerintah dengan swasta tersebut? Jawabannya bisa ya dan bisa tidak. Perjanjian baku pemerintah dapat dikatakan tidak meniadakan asas konsensual karena pihak swasta diberikan kesempatan untuk mendapatkan penjelasan dalam proses pengadaan. Pihak swasta sebagai calon penyedia jasa terpilih juga memiliki kesempatan yang sama untuk mendapatkan informasi paket pekerjaan secara detail dan tanpa menyebutkan merk tertentu. Selain itu calon penyedia jasa memiliki kedudukan yang sama dengan pihak pemerintah sebagai pemberi kerja dalam kontrak apabila calon penyedia jasa tersebut dinyatakan sebagai penyedia jasa terpilih: pihak pemerintah sebagai pemilik pekerjaan juga pihak swasta sebagai penyedia jasa punya hak dan kewajiban yang sudah diatur dan disepakati oleh kedua belah pihak. Tidak ada klausula pengabaian tanggung jawab baik dari pemerintah maupun pihak swasta atas segala kerusakan atau kerugian yang disebabkan oleh beberapa hal. Hanya saja dalam beberapa kasus, perjanjian baku tersebut dirasa kurang detail guna mengantisipasi hal-hal khusus yang mungin terjadi dalam pelaksanaan perjanjian.
Di sisi lain, terdapat juga sisi perjanjian yang tidak dapat dinegosiasikan oleh calon penyedia jasa dalam dokumen pengadaan. Misalnya terhadap kementerian yang sudah memiliki aturan tersendiri mengenai standar dokumen pengadaan barang dan jasa yang diatur dalam suatu peraturan menteri. Seringkali klausula dalam kontrak tidak dapat diubah dengan bebas baik oleh pemilik pekerjaan (sisi pemerintah) maupun oleh pelaksana pekerjaan (sisi swasta). Karena merubah isi kontrak sama dengan tdaik sesuai dengan peraturan menteri dimaksud. Atau bahkan saat suatu kementerian belum memiliki aturan khusus yang mengatur mengenai pengadaan barang dan jasa, mereka (pihak pemerintah) juga harus tunduk kepada peraturan LKPP mengenai pengadaan barang dan jasa. Meskipun seringkali pembahasan atau sengketa terkait substansi kontrak jarang terjadi (karena lebih sering terjadi sengketa mengenai prestasi pekerjaan), namun perubahan kontrak atau klausula dalam kontrak menjadi hampir tidak mungkin dilakukan karena terikat dengan peraturan menteri atau peraturan lembaga (LKPP). Terdapat suatu kemungkinan perubahan substansi kontrak melalui adanya opini Ahli Hukum Kontrak (AHK), namun penggunaan AHK tersebut khusus untuk kontrak yang memiliki nilai pengadaan tertentu. Tidak semua kontrak pengadaan barang dan jasa pemerintah diperbolehkan atau dimungkinkan menggunakan pengunaan pendapat AHK dalam pengaturan pasal atau ketentuannya. Tetapi, pendapat AHK tersebut juga tidak menghilangkan pertanyaan mendasar mengenai apakah dibolehkan mengatur ketentuan selain yang sudah diatur oleh peraturan lembaga atau menteri terkait pengadaan barang dan jasa pemerintah? Apabila tidak boleh memasukkan ketentuan selain apa yang sudah diatur oleh peraturan lembaga atau menteri, maka dapat kita simpulkan sebenarnya Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) Pemerintah termasuk sebagai perjanjian baku.
Leave a Reply