Daftar hitam terhadap badan usaha yang melakukan pelanggaran dan/atau pemutusan kontrak secara sepihak oleh Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) secara teknis diatur oleh Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Namun, mudahnya membuat suatu badan usaha tidak membuat jera pemilik badan usaha (kontraktor/konsultan) untuk menghindari pengenaan sanksi daftar hitam, karena sanksi daftar hitam hanya terhadap badan usaha, tidak kepada orang per orang di dalam badan usaha. Lalu bagaimanakah sebenarnya pengaturannya di dalam peraturan perundang-undangan terkait konstruksi?
Berdasarkan Peraturan Kepala Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2014 tentang Daftar Hitam Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (Perka LKPP 18/2014), pada pasal 1 angka (12) menerangkan yang dimaksud dengan penyedia barang/jasa: Penyedia Barang/Jasa adalah badan usaha atau orang perseorangan yang menyediakan Barang/Pekerjaan Konstruksi/Jasa Konsultansi/Jasa Lainnya.
Berdasarkan definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan penyedia barang/jasa yang termasuk dalam lingkup Perka LKPP 18/2014 adalah badan usaha atau orang perseorangan.
Kemudian pada Pasal 3 ayat (1) Perka LKPP 18/2014 disebutkan bahwa Pengenaan sanksi pencantuman dalam Daftar Hitam diberikan kepada Penyedia Barang/Jasa saat proses pemilihan dan/atau pelaksanaan kontrak. Berdasarkan pengaturan tersebut, terkait dengan pasal 1 angka (12) maka yang dikenakan sanksi pencantuman daftar hitam adalah si badan usaha apabila yang melaksanakan adalah badan usaha (baik itu perseroan, comanditer, maupun firma), dan orang perseorangan apabila yang melaksanakan adalah orang per orang (contohnya konsultan individual). Perka LKPP 18/2014 itu sendiri tidak menjelaskan mengenai apa yang dimaksud dengan badan usaha dan/atau perseorangan.
Hal mana dikuatkan pada pasal 4 Perka LKPP 18/2014 ini, yang dikenakan pengenaan sanksi pencantuman daftar hitam apabila melakukan hal-hal pelanggaran yang diatur dalam Perka LKPP 18/2014 (pada pasal 3 ayat (2)) adalah penyedia jasa, termasuk juga:
a. Seluruh Penyedia Barang/Jasa yang bergabung dalam satu konsorsium/kemitraan
b. Seluruh kantor cabang/perwakilan di daerah lain dan/atau kantor pusat, yang manapun yang terkena daftar hitam
Namun, Perka LKPP ini melakukan pengecualian terhadap pengenaan sanksi daftar hitam, yaitu antara induk perusahaan dengan anak perusahaan. Apabila yang dikenai daftar hitam adalah induk perusahaan maka anak perusahaan tidak ikut terkena daftar perusahaan, begitupun sebaliknya. Hal ini dilatarbelakangi adanya pemisahan manajemen dan kekayaan antara induk perusahaan dengan anak perusahaan yang nantinya dibuktikan dengan akta pendirian dan.atau anggaran dasar dan anggaran rumah tangga-nya (ADADRT-nya).
Apabila kita membandingkan Perka LKPP 18/2014 ini dengan peraturan yang lebih tinggi, akan kita temukan kekurangan pengaturan mengenai daftar hitam yang diatur dalam Perka LKPP 18/2014, yaitu sanksi terhadap individu dalam badan usaha yang melaksanakan konstruksi. Sanksi yang diatur dalam Perka LKPP 18/2014 hanyalah badan usaha terhadap badan usaha yang menjadi pelaksana, dan orang perorang yang menjadi pelaksana. Tidak ada pengaturan sanksi kepada orang perorang di dalam badan usaha yang menjadi pelaksana.
Perbandingan dengan peraturan yang lebih tinggi
Pertama, bila dibandingkan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi (PP 29/2000), akan kita ketahui bahwa pada pasal 42 disebutkan Pertanggungjawaban berupa sanksi profesi dan atau adminsitratif dapat dikenakan pada orang perseorangan dan atau badan usaha penandatangan kontrak kerja konstruksi. Pengaturan ini masih sama sesuai dengan Perka LKPP 18/2014.
Namun dalam pasal 35 PP 29/2000 terkait kegagalan bangunan, sanksi yang berlaku adalah sanksi profesi dan ganti rugi.
Kemudian pada pasal 56 ayat (2) dan Pasal 59 disebutkan mengenai ancaman terhadap pelanggaran yang menyebutkan sama seperti Perka LKPP 18/2014:
Pelanggaran terhadap Peraturan Pemerintah ini di kenakan sanksi administratif yang ditetapkan oleh Pemerintah kepada penyedia jasa, berupa :
Kemudian pada Pasal 58 ayat (2) diatur:
Kedua, kita akan membahas sanksi terhadap penyedia jasa yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi (UU 18/1999).
Sesuai dengan pasal 1 angka (2) UU 18/1999, dijelaskan bahwa jasa konstruksi adalah layanan jasa konsultansi perencanaan pekerjaan konstruksi, layanan jasa pelaksanaan pekerjaan konstruksi, dan layanan jasa konsultansi pengawasan pekerjaan konstruksi. Berdasarkan definisi tersebut dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan jasa konstruksi adalah seluruh pekerjaan terkait dengan pelaksanaan pembangunan konstruksi, baik itu fisik maupun non-fisik (perencanaan dan/atau pengawasan).
Lebih lanjut lagi, UU 18/1999 tersebut menjelaskan mengenai siapa yang dimaksud dengan pengguna jasa dan penyedia jasa pada pasal 1 angka (4) dan angka (5):
Angka (4) Pengguna jasa adalah orang perseorangan atau badan sebagai pemberi tugas atau pemilik pekerjaan/proyek yang memerlukan layanan jasa konstruksi. Angka (5) Penyedia jasa adalah orang perseorangan atau badan yang kegiatan usahanya menyediakan layanan jasa konstruksi. Penjelasan tersebut menjelaskan siapakah para pihak dalam pekerjaan konstruksi yang diatur dalam pasal 14 Undang-Undang 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi, yaitu pengguna jasa dan penyedia jasa.
Adapun pengaturan mengenai profesi, dijelaskan di awal yaitu di pasal 1 angka (9), Registrasi adalah suatu kegiatan untuk menentukan kompetensi profesi keahlian dan keterampilan tertentu, orang perseorangan dan badan usaha untuk menentukan izin usaha sesuai klasifikasi dan kualifikasi yang diwujudkan dalam sertifikat.
Sanksi yang diancamkan sesuai UU 18/1999 ini diatur dalam Bab X Sanksi. Pada pasal 42 disebutkan penyelenggara pekerjaan konstruksi dapat dikenai sanksi administratif dan/atau pidana kepada penyedia jasa berupa:
a. peringatan tertulis;
b. penghentian sementara pekerjaan konstruksi;
c. pembatasan kegiatan usaha dan/atau profesi;
d. pembekuan izin usaha dan/atau profesi;
e. pencabutan izin usaha dan/atau profesi.
Memperhatikan pengaturan-pengaturan dalam UU 18/1999 dan PP 29/2000 tersebut, dapat disimpulkan bahwa seharusnya sanksi juga dapat dikenakan kepada orang-per orang yang memiliki sertifikat keterampilan dan/atau sertifikat keahlian berdasarkan profesi yang dikuasainya. Tidak hanya badan usaha yang dikenai, tetapi juga tenaga-tenaga yang bekerja di dalam badan usaha itu yang memiliki sertifikat sesuai profesinya.
Sebagai kesimpulan, seharusnya pengenaan sanksi daftar hitam kepada badan usaha tidak hanya dikenakan kepada si badan usaha sebagai badan hukum. Tetapi juga kepada tenaga ahli yang memiliki sertifikat profesi di dalamnya.